Selasa, 30 November 2010

Etnometodologi

Etnomethodologi pertama kali di perkenalkan oleh Harold Garfinkel, dalam bukunya Studies in Ethnomethodology (1984), untuk pertama kali di tahun 1967, sebuah pendekatan baru yang berbeda dari pendekatan sosiaologi biasa. Studies in Ethnomethodology terbit pada priode revolusi ilmu-ilmu social yang kacau, dan selama waktu-waktu itu , dominasi paradikma fungsional-struktural Parsons yang menjadi standar sosiologi sebelumnya masih berdiri tegak. Konsekuensi yang tidak menyenangkan adalah ethnometodologi di pahami sebagai “metode tanpa substansi”(Coser: 1975).

            Garfinkel, sudah mendeklarasikan sebelumnya kalau dari istilah `ethnometodologi` inilah akan tersusun sebuah perinsip yang akan membentuk jalan hidupnya sendiri. (Garfinkel:1974,hal.18)

            Garfinkel sepanjang hayatnya difokuskan mengenai permasalahan-permasalahan konseptual yang menjadi topic utama sosiologi, isu ini ialah mengenai tindakan social, hakekatt intersubjektivitas dan pembentukkan pengetahuan secara social. Grafinkel mengeksplorasi bidang ini melalui sifat-sifat dasar dan penalaran praktis. Studi ini di maksudkan untuk memisahkan antara teori tindakan dari kesibukan tradisionalyang bergulat dengan masalah motivasi.

            Garfinkel lalu menyimpulkan bahwa jikalau tindakan—tindakan sosisal sehari-hari di bangun di atas premis rasionaliitas ilmiah, maka hasilnya bukan sebuah aktivitas melainkan ketidak aktifan, disorganisasi dan anomi (inactivity, disorganization and anomie, Garfinkel 1952;1984,hal.270-271). Dengan usulan yang terakhir ini Garfinkel menetapkan sebuah wilayah baru bagi kajian social;  study tentang sifat-sifat penlaran akal-sehat praktis dalam situasi tindakan sehari-hari. Usulan ini mengandung penolakan penggunaan rasionalitas ilmiah hsebagai  titik sentral perbandingan untuk menganalisis penalaran sehari-hari.

            Study ini mendorong analis untuk memperkirakan semua komitmen apapun kepada versi tertentu struktus-struktur social sebelumnya (termasuk versi yang di pegang analis dan pertisipan sendiri )untuk mendukung penyelidikan tentang bagaimana petisipan nmenciptakan, merangkai, memproduksi dan memproduksi struktur-struktur social yang di ddalamnya mereka berorientasi. Ini disebut Ethnometodological indifference (Garfinkel dan Sack:1970) .Jadi di lapisan dasarnya study ini adalah studi tentang peenalaran praktis dan tindakan praktis, menahan diri untuk tidak melakukan penilaian yang berefek mendukung atau menolak hal tersebut.

            Sasaran Ethnometodologi adalah deskripsi menditail prektek2 sosial yang terorkanisasikan secara alamiah yang, seperti observasi-observasi di dalam ilmuu alam, bias di reproduksi, di periksa, dievaluasi dan membentuk dasar bagi studi dan penyimpulan yang  alamiah.

 

Sumber;

Giddens, Anthony dan Turner, Jonathan, 1987.Social Theory Today : Panduan SistematisTradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial.Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hal 383-470

Senin, 29 November 2010

LKMM TL 2010 Universitas Airlangga

Entahlah apa yang ada dalam benakku untuk tidak mengikuti Peraktek Kuliah Lapangan (PKL) mata kuliah Perubahan Masyarkat dan Kebudayaan, karena memang aku adalah orang yang mengaggap peluang itu datangnya cuman sekali, maka ketika kesempatan dan peluang itu mengarah ke aku, yang pilihannya adalah mengambil atau kehilangan. 

yah latihan Keterampilan Manajement Mahasiswa Tingkat Lanjut ( LKMM-TL) adalah salah satu bentuk kegiatan yang di adakan oleh rektorat terkait mengenai pengembangan soft skill mahasiswanya, di LKMM TL 2010 , bertempat di blessing Hills Trawas, Mojokerto dimualai 26 november sampai dengan 28 november 2010. dengan motto kami "Satukan tujuan, Menggapai impian , Menjadi Kader Bangsa"acara Tl sendiri lebih menekankan kepada materi materi kebangsaan, sebagai bentuk pengembangan dari Tingkat menengah (TM) yang membahas mengenai Rencana Pengembangan Organisasi (RPO) dan Tingkat Dasar( TD) yang membahas mengenai manajemen diri.

banyak hal yang kami dapatkan di sana, yang jelas sebagai anak kost kami (saya) sangat merasakan kenikmatan makan gratis, ilmu gratis, teman yang banyak, alam yang indah, materi yang asik, dan aerobic yang erotis (wkwkw).....

terlalu ruet untuk dibicarakan mengenai ke adaan disana semua terlalu indah, sehingga bingung untuk memilah mana dulu yang di ceritakan >_< 

hingga penghujung pertemuan kami di arena Blajar ini munculah tekad "Bertemu 10 Tahun lagi ; 26 november 2020) di blessing Hills Trawas Mojokerto, entah apa yang ada di benak kalian semua teman-temanku... saya hanya berdoa agar kita benar2 di pertemukan dalam keadaan seluruh peserta TL 2010 ini "menjadi kader bangsa" sukses di bidangnya.....!!! 

kalo pun ada yang masih dalam tahap sukses ga usah malu untuk g datang 10 tahun lagi..!! kami akan membantu... 10 tahun lagi akan membuktikan cita-cita kita sekarang kan!! 


Mari Satukan Tujuan!!! (di LKMM-TL)

Menggapai Impian!!!! (dalam Usaha hingga 10 tahun lagi)

Menjadi Kader bangsa!!!! ( mari di buktikan)

Strukturalisme

Levis-Strauss

Mitos dan Karya Sastra

Heddy Shri Ahimsa-Putra

 

Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60).

1.     Levi-Strauss, Bahasa dan Kebudayaan

Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjara Ningrat; 1987).

Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Yang kedua, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu sendiri.

Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models (Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan.

 

2.     Levi-Strauss Dan Linguistik Struktural

pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss lebih baik, perlu disampaikan konsep bahasa menurut para ahli linguistik yang mempengaruhi lahirnya teori ini. Diantara mereka yang sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural. (Levi-Strauss, 1978 via Ahimsa 2006).

a. Ferdinand de Saussure

Sebagai penemu konsep linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap teori Strukturalisme.

Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya mengenai hakekat gejala bahasa. Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep struktural dalam bahasa dan juga semiologi atau yang sekarang disebut dengan semiotik (Ahimsa, 2006).

Ada lima pandangan de Saussure yang mempengaruhi Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu;

 

1. Signified (tinanda) dan signifier (penanda);

Bahasa adalah suatu sistem tanda (sign). De Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda kebahasaan (linguistic sign), yang wujudnya tidak lain adalah kata-kata.

Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut signifier, dengan sebuah ide atau tinanda yang disebut signified, walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19 via Ahimsya, 2006 h. 35).

2. Form (wadah) dan content (isi)

Wadah atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep ini, isi boleh saja berganti tetapi makna dari wadah masih tetap berfungsi. Untuk menjelaskan konsep ini memang agak sulit. Kiasan yang sering digunakan untuk menggambarkan kedudukan wadah (form) dan isi adalah pergantian salah satu fungsi dari komponen permainan catur.

3. Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole)

Konsep langue merupakan aspek yang memungkinan manusia berkomunikasi dengan sesama. Inilah kenapa langue membicarakan juga aspek sosial dalam linguistik. Dalam langue terdapat norma-norma, aturan-aturan antarperson yang tidak disadari tetapi ada pada setiap pemakai bahasa. Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat individu, ia bisa mencerminkan kebebasan pribadi seseorang.

4. Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic)

De Saussure meyakini akan adanya proses perubahan bahasa. Oleh karena itu keadaan ini menuntut adanya perbedaan yang jelas antara fakta-fakta kebahasasan sebagai sebuah sistem, dan fakta-fakta kebahsaan yang mengalami evolosi (Culler, 1976, via Ahimsa, 2006; 46). Karena sifatnya yang evolutif maka tanda kebahasaan sepenuhnya tunduk pada proses sejarah.

5. Sintagmatik dan Paradigmatik

Dalam kontek ini de Saussure menyatakan bahwa manusia menggunakan kata-kata dalam komunikasi bukan begitu saja terjadi. Tetapi menggunakan pertimbangan-pertimbangan akan kata yang akan digunakan. Kita memiliki kata yang mau kita gunakan sebagaimana penguasaan bahasa yang kita miliki. Disinilah hubungan sintagmatik dan paradigmatik itu berperan.

Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep (Ahimsa, 2006; 47).

 

b. Roman Jakobson

Meskipun Jakobson terlahir setelah de Saussure, ia dikenal sebagai pengembang Semiotika Klasik. Konsep yang ditawarkan oleh Roman Jakobson (1896-1982) lebih condong pada para ahli bahasa dari Rusia (Rusian Linguist).

Pemikiran Jakobson berpengaruh besar pada diri Levi-Strauss pada konsepnya mengenai fenomena budaya. Jakobson memberikan pandangan kepada Levi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang sangat variatif tersebut (Ahimsa, 2006; 52).

Dalam pemikiran Jakobson unsur terkecil dari bahasa adalah bunyi. Dengan demikian kata diartikan sebagai satuan bunyi yang terkecil dan berbeda. Fonem sebagai unsur bahasa terkecil yang membedakan makna, meskipun fonem itu sendiri tidak bermakna.

Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain.

 

c. Nikolai Troubetzkoy

Nikolai mempengaruhi Levi-Strauss dalam hal strategi kajian bahasa yang berawal dari konsepsi mengenai fonem. Nikolai berpendapat bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep psikologis. Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa, dan bukan ide yang diambil dari pengatahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal oleh pengguna suatu bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang pernah belajar lingusitik. (Ahimsa, 2006)

 

3.     Beberapa Asumsi Dasar.

Ahimsa (2006; 66-71) menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut;

 

1. Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane; 1970; 13-14 Ahimsya; 66).

 

2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya.

 

Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia. (Ahimsa, 2006; 68).

 

3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.

Pendekatan Verstehen (max Webber)

 

Max Weber menawarkan model analisis sistem simbol dengan pendekatanVerstehen (pemahaman) yang memungkinkan orang untuk bisa menghayati apa yang diyakini oleh pihak lain tanpa prasangka tertentu. Dalam tradis Verstehen, jika obyeknya adalah sistem budaya, maka bisa dipihal antara tradisi agung (great trdition) dan tradisi rendah (litlle tradition).

Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan  sosial. Bagi weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Intrspeksi bisa memberikan seorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang prilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam interaksionisme simbol.

Tindakan Subyek harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung didalamnya. Untuk itu, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subyektif ini secara obyektif dan analitis.
Konsep Rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan “ obyektif” hanya berhubungan dengan gejala-gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan “subyektif “ berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikiran dan motif-motifnya.

Memahami reaitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan itu berarti menjelaskan mengapa manusia menentukan pilihan. Metode yang dikembangkan oleh Weber adalah Verstehen, karena menurutnya sosiologi juga adalah manusia yang mengapresiasi lingkungan sosial dimana mereka berada, memperhatikan tujuan-tujuan warga masyarakat yang bersangkutan dan oleh sebab itu berupaya memahami tindakan mereka, sehingga konsep inilah yang dapat membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu sosial.

Verstehen adalah suatu metode pendekatan yag berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa social dan histori. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi social didukung oleh jaringan makna yang di buwat oleh actor yang terlibat di dalamnya. Yang menjadi inti dari sosiologi bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai yang obyektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yangnyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan subyektif itu yang di sebut dengan Verstehende sociologie.


ingat saudaraku!!!!

Barang siapa yang memelihara ketaatan

Kepada ALLAH di masa muda dan masa kuatnya,

maka ALLAH akan memelihara kekuatannya

disaat tua dan saat kekuatannya melemah.

Ia akan tetap di beri kekuatan, pendengaran,

penglihatan, kemampuan berpikir dan kekuatan akal.

(ibnu Rajab Al-Hambali)


idza shadaqa al 'azamu wadla'a al sabil

Hanya orang yang mau berfikirlah yang meghargai kita, menghargai arti penting dawah. Aku ingat dalam catatan harian Soe Hok Gie ia pernah menuliskan

(Don’t think you can frighten me by telling me that I am alone. God is alone……….
the loneliness of God is his strength…)


Icetea Ghizha
Icetea Ghizha
Create Your Badge

BELAHAN JIWAKU

BELAHAN JIWAKU
saudara seperjuangan di SKI FISIP UNAIR tercinta