Kamis, 30 Desember 2010

Menemukan Antropologi Islam (Kearah Rekonstruksi Islami)

Menemukan Antropologi Islam
(Kearah Rekonstruksi Islami)

Oleh: Abdul Hayyie al Kattani

“Dan sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. Al Israa’: 70)

Muqaddimah:

Secara etimologis, Antropologi tersusun dari terma Latin anthropos yang artinya manusia, dan terma Yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Antropologi berarti: “berbicara tentang manusia”. Seperti Sosiologi yang terusun dari terma Latin socius yang berarti “kawan” dan terma Yunani logos, sosiologi berarti “berbicara tentang masyarakat”1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, antropologi diartikan sebagai: Ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau 2.

Antropologi, terutama antropologi sosial, agak sulit untuk dibedakan dengan sosiologi, sehingga pada beberapa perguruan tinggi dan lembaga-lembaga ilmiah, antropologi dan sosiologi merupakan dua spesialisasi yang seringkali digabungkan dalam satu bagian. Dalam buku Pengantar Antropologi, dikatakan bahwa antropologi mempunyai lima lapangan penyelidikan, yaitu:
Masalah sejarah terjadinya dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis.
Masalah sejarah terjadinya aneka-warna bahasa-bahasa yang diucapkan oleh manusia di seluruh dunia.
Masalah persebaran dan terjadinya aneka warna bahasa-bahasa yang diucapkan oleh manusia di seluruh dunia.
Masalah perkembangan, persebaran dan terjadinya aneka-warna dari kebudayaan manusia di seluruh dunia.
Masalah mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat dari suku-suku bangsa yang tersebar di seluruh muka bumi, zaman sekarang ini 3.

Jika diperhatikan lapangan penyelidikan point d dan e, kita akan sulit sekali untuk mengadakan pembatasan yang tegas antara antropologi dengan sosiologi 4. Sisi ini merupakan satu dari sekian masalah yang menjadi problema antropologi modern.

Saat ini, antropologi modern yang berkembang di dunia Barat sedang berada dalam krisis yang cukup akut, meskipun tidak runtuh sama sekali. Beberapa aliran antropologi sedang berusaha keras untuk menyelamatkan ilmu ini; seperti antropologi aliran Inggris, Amerika, Jerman dan Perancis. Krisis tersebut terjadi karena para pakar antropologi menyadari bahwa, antropologi —seperti yang dikenal saat ini— timbul dan berkembang di dunia Barat untuk memenuhi beberapa tujuan yang amat jauh dari misi ilmu pengetahuan. Ilmu ini, terutama ditujukan untuk mempelajari kelompok manusia diluar dunia Barat sebagai objek jajahan. Di sini, kajian yang dilakukan oleh pakar- pakar antropologi Barat terhadap tradisi dan perilaku manusia di luar dunia Barat ditujukan untuk memberikan entry point bagi pemerintahan jajahan dalam menyikapi perilaku warga negara jajahan mereka, sehingga mereka dapat menguasai secara lebih utuh atas negara jajahan tersebut dan memberikan terapi yang tepat untuk mengatasi gejolak yang terjadi di tengah mereka.

Tujuan lain yang mendorong ilmuan antropologi Barat untuk mengkaji dan meneliti bangsa-bangsa primitif; seperti tentang tradisi mereka, kerangka tubuh, bentuk tempurung kepala dan hal-hal lain yang berkaitan dengan bangsa-bangsa primitif, adalah untuk mencari missing link (mata rantai yang hilang) serta “bukti ilmiah” yang lebih valid untuk mendukung teori evolusi Darwin 5. Ketika negara-negara jajahan satu-persatu merebut kemerdekaan mereka, dan malah darinya kemudian timbul pakar-pakar antropologi domestik yang lebih handal untuk membaca kondisi bangsa mereka sendiri, dan mampu mengkritik dengan akurat atas kajian antropologis pakar Barat, maka antropologi-pun kehilangan objek kajiannya.

Tentu saja yang terjadi kemudian adalah semacam kegoncangan. Para pakar antropologi Perancis dengan jelas mengajak untuk menyusun ulang ilmu ini 6. Dalam Encyclopedia of Britannica, ketika berbicara tentang ethnologi, saudara sepupu antropologi, mengatakan bahwa ilmu ini sedang berada dalam krisis total. Krisis ini bisa dilihat pula pada judul artikel yang ditulis tentang kondisi antropologi saat ini; J. Banaji menulis Crisis of British Anthropology 7, dan R. Needham menulis The Future of Social Anthropology: Disintegration or Metamorphosis? 8. Fenomena lain dari krisis ilmu ini adalah sifat instabilitasnya; dalam kurun waktu seperempat abad, atau 30 tahun saja ilmu ini telah berubah menjadi bentuk yang amat lain. Demikian seterusnya. Saat ini, antropologi telah terpecah menjadi beberapa cabang ilmu, antara lain: Physical Anthropology, Prehistoric Anthropology, Primitive Technology, Ethnology, Ethnography, dan Social Anthropology 9. Dan masing-masing ilmu inipun masih menemukan kesulitan untuk memetakan secara tepat objek spesifik kajian masing-masing.

Dalam kalangan pakar antropologi sendiri, masing-masing pakar mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap substansi kajian antropologi. Sebagian antropolog hanya memberikan perhatian pada kajian tentang fosil manusia purba dan ukuran tengkorak mereka. Kecenderungan kedua memberikan perhatian pada kajian tentang manusia pra-sejarah dan peninggalan mereka. Sedangkan kecenderungan ketiga memberikan perhatian pokok pada perilaku aneh dalam tradisi bangsa-bangsa, terutama dalam perilaku seksual 10. Pada sisi lain, antropologi Barat digodok dan matang dalam masa-masa pasca pertarungan antara kalangan gereja vis a vis kalangan ilmuan. Proses tarik-menarik antara kedua pihak tersebut, tentu saja menularkan biasnya atas ilmu yang tersusun di tangan kalangan ilmuan ini. Kegetiran yang dirasakan oleh kalangan ilmuan pada era hegemoni gereja yang demikan kuat atas kehidupan mereka, yang secara arbitrer memberangus semua pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gerejani, tidak saja menanamkan api permusuhan dalam dada kalangan ilmuan, namun lebih dari itu, sebagai reaksi dari tekanan dan kepedihan yang mereka rasakan, kalangan ilmuan kemudian melakukan penolakan secara total terhadap semua ajaran yang dibawa oleh gereja. Kekuasaan gereja mereka ganti dengan sistem sekuler. Dan, lebih jauh lagi, mereka menawarkan ilmu pengetahuan sebagai ganti keimanan terhadap agama dan Tuhan. Antropologi yang terlahir pada era tersebut, tentu saja mempunyai ciri-ciri yang khas ini; sekuler dan bebas nilai 11.

Pada sisi lain, manusia yang menjadi objek ilmu inipun mengalami degradasi nilai. Dengan kaca mata materialisme, manusia terlihat tak lebih dari binatang yang mempunyai kelebihan akal pikiran.

Saat ini, ketika ilmu pengetahuan telah gagal untuk memecahkan begitu banyak problema manusia modern, para pakar kembali memeras segenap kemampuan untuk mencari alternatif metode ilmu pengetahuan yang baru yang mampu memberikan solusi bagi problema umat manusia pada era pasca modern ini. Ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya antropologi, juga mengalami hal yang sama. Seorang intelektual Indonesia, misalnya, pernah menulis sebuah buku berjudul: Krisis Ilmu-Ilmu Sosial, untuk menjelaskan betapa, saat ini, ilmu-ilmu sosial sedang berada dalam masa kritisnya. Dari point-point di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, antropologi modern tidak saja “bermasalah” dalam dataran epistemologis, namun juga dalam dataran ontologis dan aksiologis. Oleh karena itu, perlu dirumuskan teori ilmu-ilmu sosial (dan selanjutnya teori ilmu pengetahuan) yang Islami, sebagai alternatif dari ilmu-ilmu sosial yang sedang berada dalam masa krisisnya tersebut.

Hal itu bisa dimulai dengan menggali konsep-konsep dari al Qur'an dan al Hadist sebagai landasan epistemologis, ontologis dan aksiologis ilmu pengetahuan Islami. Karena, seperti dipahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Immanuel Kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut skema konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar budaya 12. Inilah yang ingin dicapai oleh artikel ini.

Antropolgi Modern di Dunia Barat

Tulisan-tulisan para missionaris dan para petualang pada abad ke-18 dan 19, telah menjadi sumber tertulis yang amat penting tentang Afrika, Amerika Utara, daerah lautan tenang dan daerah-daerah lain di seluruh pelosok dunia. Materi-materi tertulis tersebut kemudian menjadi bahan dasar bagi karya-karya tulis pertama dalam ilmu antropologi di Barat pada paruh terakhir abad 19.

Sebelumnya, kajian tentang sistem hidup manusia dan sumber-sumber pembentukan sistem tersebut telah dilakukan oleh ilmuan Barat, namun hal itu lebih banya didasari oleh hipotesa-hidpotesa. Demikian juga halnya pada paruh pertama abad 18, ketika Hume, Adam Smith, Ferguson, Montesquieu, Condarcet dan ilmuan lain menulis tentang kelompok manusia primitif. Meskipun tulisan mereka cukup bagus, namun ia tidak dihasilkan dari exprimen dengan variabel-variabel yang dapat diukur, malah lebih banyak dipengaruhi oleh pilsafat yang mereka anut.

Pada penghujung abad 19 materi informasi yang besar tentang berbagai jenis manusia di seluruh dunia telah dapat dikumpulkan. Koleksi Sir James Frazer adalah yang paling terkenal dari sekian koleksi. Koleksinya tentang kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus agama kemudian diterbitkan dalam beberapa seri dengan judul The Golden Bough 13. Materi-materi tersebut kemudian diperkaya oleh kajian-kajian yang terus dilakukan baik oleh missionaris maupun pegawai administrasi di negara-negara jajahan.

Pada permulaan abad 20, ilmuan antropologi lebih banyak mencurahkan perhatian untuk melakukan field research secara langsung tentang kelompok-kelompok manusia. Kecenderungana ini menguat setelah A.C. Haddon melakukan penelitian di Melanesia, Radcliffe Brown melakukan kajian atas masyarakat andaman serta Malinowski mengkaji masyarakat kepulauan Torobrind.

Setidaknya ada dua aliran dalam antropologi yang kemudian banyak mempengaruhi antropologi modern. Aliran pertama adalah aliran Inggris. Dengan memberi perhatin pada kajian tentang hakikat-hakikat, eksprimen, serta deskripsi yang amat teliti tentang objek kajian. Aliran ini dianut oleh banyak ilmuan Jerman dan Amerika. Dan aliran kedua adalah aliran Perancis, yang menggunakan metode holistic analytic intellectualism. 14) Namun demikian, menurut Akbar S. Ahmad, pakar-pakar antropologi sosial tetap saja hanya mencurahkan perhatian mereka pada sisi sosial kehidupan manusia. Atau hubungan antara sesama manusia dalam sebuah lingkungan masyarakat tempat mereka hidup. Sementara dimensi-dimensi lain yang demikian banyak tentang kehidupan sosial dan peradaban, mereka tinggalkan 15.

Seperti disinggung sebelumnya, timbulnya antropologi modern tidak terlepas dari kepentingan kolonialisme. Ketika Napoleon menjajah Mesir, ia membawa serta sebanyak 150 ahli ilmu pengetahuan, sebagian dari mereka adalah ahli sosiologi dan antropologi. Dari tangan mereka kemudian diawali kajian-kajian antropologis terhadap negara-negara jajahan di Asia, Afrika dan negara-negara sekitar lautan teduh. Bukanlah sebuah kebetulan jika pakar-pakar antropologi Inggris yang paling terkemuka pasca perang dunia I dan II adalah mantan pegawai di negara-negara jajahan Inggris. Seperti Evan Pritchard, Leach dan Nadel. Bahkan yang terakhir, menggunakan kekuasaannya sebagai pejabat administrasi kolonial dalam penelitian antropologisnya dengan memerintahkan polisi kolonial untuk mengumpulkan penduduk sebagai objek questioner yang ia buat.

Pengaruh pemikiran orientalis terhadap kajian antropologi dalam menatap dunia Timur juga cukup besar. Sehingga tak jarang tatapan yang dihasilkan oleh suatu kajian terhadap masyarakat Timur tampak buram. Dalam buku Orientalism, W.E. Said berkata tentang masyarakat Timur : bangsa Timur adalah bangsa yang tidak logis, mereka terbelakang serta kekanak-kanakan, dan mereka berbeda dengan kita. Sementara bangsa Eropa adalah bangsa yang stabil, bermoral tinggi, matang, dan tidak mempunyai kekurangan 16. Banyak orientalis, dalam melihat Islam, lebih senang menyebutnya sebagai kaum Muhammedanisme. Hal itu tampak pada judul buku H.A.R.Gibb Muhammedanism 17, dan Gustave E. von Grunebaum Muhammadan Festival 18. Dan Oxford Dictionary tetap menggunakan terma ini meskipun telah ditentang oleh umat Islam. Hingga saat ini, pengaruh orientalis terhadap antropologi tak kunjung menurun. Malah orientalis seperti A. J. Arbery, H.A.R. Gibb, Lewis, von Grunebaum dan M. Watt telah turut menyusun konsep-konsep metodologis bagi banyak kajian antropologi 19. Pengaruh ini tampak jelas pada banyak antropolog. M. E. Meeker, misalnya, dalam bukunya Literature and Violence in North Arabia 20 menulis tentang bangsa Arab (Islam): Peradaban Baduwi di bagian Utara Jazirah Arabiyyah mempunyai pemikiran bahwa kekerasan adalah pokok kehidupan politik. Dan dalam melihat keluarga, barang dan hubungan sosial, mereka cenderung melihatnya dalam kerangka yang dibatasi oleh kekerasan. Sikap seperti itu tidak aneh, karena Meeker banyak mengambil materi kajiannya dari Doughty yang amat membenci Islam.Demikian pula P. Jeffrey, ketika mengadakan kajian tentang wanita muslimah di Delhi, memberikan judul buku hasil kajiannya itu Frogs in a Well—kodok-kodok di dalam sumur 21. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah: Apakah Islam tidak mempunyai konsep antropologi, sehingga bisa menjadi alternatif antropologi Barat itu?. Kalaupun ada, apakah hal itu pernah diwujudkan dalam sebuah konsep keilmuan yang utuh?.

Menemukan Antropologi Islam

Jika antropologi modern lahir di tangan ilmuan Barat, terutama kalangan missionaris dan pegawai administrasi kolonial, itu tidak berarti bahwa antropologi adalah karya mutlak ilmuan Barat. Sejarah ilmu pengetahuan justru mengukir dengan tinta emas bahwa ilmuan Islamlah yang telah membangun dan menyusun konstruksi ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tercatat nama-nama Ibn Khaldun, al Biruni, Ibn Bathuthah, al Mas'udi, al Idrisi, Ibnu Zubair serta Raghib al Ashfahani yang menulis kitab Tafshil 'n Nasyatain wa Tahshil 's Sa'adatain. Pada era modern ini, terdapat beberapa ilmuan Islam yang telah melakukan kajian antropologis, seperti Dr. Bintu Syathi, 'Abbas Mahmud al 'Aqqad, Dr. Aminah Nushair, Abdul Mun'im Allam, Muhammad Khadar, Dr. Zaki Isma'il, Dr. Akbar S. Ahmad, Kurshid Ahmad, Muhammad Iqbal, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul Wafa at-taftazani, Al 'Ajami dan ilmuan lainnya 22.

Karya Ibn Khaldun, dengan teori-teori dan materi ilmiahnya, telah mendahului dan mengungguli karya-karya ilmuan Barat seperti Karl Mark, Max Weber, Vilfredo Pareto, Ernest Gellner dan ilmuan Barat lainnya.Teori pendulum swing Gellner, tipologi kepemimpinan (typologi of leadership) yang ditulis Weber, serta teori Pareto tentang sirkulasi kepemimpinan (circulation of elites) dalam masyarakat Islam, semua itu tak lebih dari modifikasi atas teori-teori dan pemikiran yang telah digagas oleh Ibn Khaldun. Meskipun amat disayangkan, usaha Ibn Khaldun tersebut tidak dilanjutkan oleh ilmuan pasca Ibn Khaldun.

Menurut Akbar S. Ahmad, dari sekian ilmuan Islam yang telah mencurahkan pemikiran mereka dalam bidang antropologi tersebut, al Biruni berhak menyandang gelar Bapak antropologi. Tentang alasan pemilihan al Biruni sebagai Bapak antropologi dijelaskan dengan terperinci oleh Akbar S. Ahmad dalam tulisannya: Al-Biruni: The First Anthropologist 23. Al Biruni, menurut Akbar lagi, adalah ilmuan antropologi sejati dengan ukuran karakteristik yang paling tinggi sekalipun. Dan buku yang ditulis al Biruni tentang India yang berjudul Kitab Al Hind, terus menjadi salah satu referensi yang paling penting tentang Asia Selatan. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, adalah ilmu-ilmu yang lahir di tangan ilmuan muslim sekitar seribu tahun sebelum ilmuan Barat mempelajari ilmu-ilmu itu. Maka ketika umat Islam kembali mempelajari ilmu-ilmu tersebut, yang dilakukannya adalah semacam “menemukan kembali” apa yang sebelumnya dimiliki .

Rekonstruksi Antropologi Islam

Usaha terberat ilmuan muslim untuk membangun antropologi Islam adalah bagaimana mengelaborasi warisan antropologis yang telah ditinggalkan oleh ilmuan muslim terdahulu, kemudian merekonstruksi warisan keilmuan itu dalam format keilmuan modern. Oleh karena itu, seperti disarankan oleh Akbar S. Ahmad, kita memang tidak harus membuang seluruh kajian ilmuan Barat. Setidaknya, kreatifitas yang telah mereka hasilkan bisa dijadikan bahan komparatif untuk langkah-langkah yang akan dilakukan oleh antropologi Islam. Yang dapat dilakukan kemudian adalah melakukan —meminjam gagasan Al Faruqi—Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan tujuan-tujuan, seperti didefinisikan oleh Al Faruqi: a. Penguasaan disiplin ilmu modern, b. Penguasaan warisan Islam, c. Penentuan relevensi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern, d. Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan dan pengetahuan modern, e. Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiah dari Allah. 24).

Oleh Al Faruqi, konsep tersebut dijabarkan dalam 12 langkah sistematis untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Kedua belas langkah tersebut yaitu:
Penguasaan didiplin ilmu modern. Pada fase ini, disiplin ilmu modern harus dibagi menjadi kategori, prinsip, metodologi, masalah dan tema.
Survei displin ilmu. Setelah kategori-kategori dari disiplin-disiplin itu dibagi-bagi, suatu survei pengetahuan harus ditulis mengenai masing-masing disiplin itu.
Penguasaan warisan Islam. Warisan Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi di sini yang diperlukan adalah bunga rampai mengenai warisan Muslim yang menyinggung masing-masing disiplin tersebut.
Penguasaan warisan Islam. Setelah bunga rampai selesai dipersiapkan, warisan Islam harus dianalisis dari perspektif masalah-masalah masa kini.
Penentuan relevansi khusus antara Islam dengan disiplin-disiplin itu.
Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Begitu relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ditentukan, dia harus dinilai dan dianalisis dari sudut pandang Islam.
Penilaian kritis terhdap warisan Islam. Begitu juga, sumbangan warisan Islam dalam setiap bidang aktivitas manusia harus dianalisis dan relevansi masa kininya harus ditemukan.
Survei terhadap masalah-masalah utama yang dihadapi ummah. Suatu kajian sistematis tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, budaya, moral dan spiritual dari rakyat Muslim.
Survei masalah-masalah kemanusiaan. Suatu kajian yang serupa, tetapi lebih terpusat pada seluruh umat manusia, juga harus dibuat.
Analisis dan sintesis kreatif. Pada tahap ini, pada sarjana Muslim sudah harus siap untuk memadukan warisan Islam dengan disiplin-disiplin ilmu modern dan mendobrak kemandegan pembangunan selama berabad-abad.
Menyusun kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam. Begitu keseimbangan antara warisan antara warisan Islam dan disiplin ilmu modern berhasil dicapai, buku daras Universitas harus ditulis untuk menyusun disiplin-disiplin ilmu modern dalam cetakan Islam.
Menyebarkan pengetahuan Islam. Karya intelektual yang dihasilkan dari langkah-langkah sebelumnya harus digunakan untuk membangunkan, menerangi dan memperkaya umat manusia. 25)

Meskipun gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan seperti yang ditawarkan al Faruqi tersebut dikritik oleh beberapa orang ilmuan muslim sendiri 26, namun gaung gagasannya tersebut telah menggema ke seluruh dunia Islam. Di Malaysia telah didirikan ISTAC, di Indonesia didirikan ISTECS, dan untuk skala internasional telah berdiri International Institute of Islamic Thought (IIIT), atau di dunia Arab dikenal dengan Ma'had 'Alami lil Fikri aI islami untuk mengembangkan lebih lanjut gagasan Al Faruqi untuk mengislamkan ilmu pengetahuan tersebut. Alternatif lainnya adalah merekonstruksi antropologi Islam dengan secara kreatif menciptakan teori, metodologi dan teknis sendiri. Tanpa menafikan secara total pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Untuk mewujudkan hal itu, kita dapat menggunakan tiga ciri pembeda pengetahuan, yakni tentang: apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut diketahui, disusun dan dimanfaatkan 27.

Usaha yang lebih meluas adalah membentuk sebuah konsep keilmuan Islam, yang mencakup tidak saja antropologi namun juga ilmu-ilmu sosial lainnya. Jamaluddin ‘Athiyyah menawarkan apa yang ia namakan dengan ‘ilmu umm—mother knowledge, yang darinya pilsafat ilmu Islam digagas28. Ilmu ini terdiri dari tauhid sebagai pokok dari sekalian ilmu. Darinya akan berkembang ilmu-ilmu lain sebagai margin-margin yang menyerap cahaya ‘ilmu umm tersebut.

Secara cerdas, dengan substanssi yang sama, Ziauddin Sardar menawarkan untuk membentuk world View/weltanschauung Islam. Dalam konsep ini, epistemologi Islam disusun dari sintesa aqidah, syari’ah dan akhlak. Epistemologi ini akan menjadi aksis —meminjam istilah S.H.Nasr— bagi sistem pandangan dunia Islam. Mencakup Sains dan tekhnologi, struktur politik dan sosial, usaha ekonomi, serta teori lingkungan 29.

Kemudian, setelah sistem pandangan dunia Islam tersebut dapat dirumuskan, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
Mengembalikan wahyu sebagai sumber antropologi. Dari al Qur’an dan Hadist ditelusuri konsep-konsep maupun petunjuk tentang antropologi Islam. Nash-nash tersebut, sebagian memberikan kata putus pada beberapa masalah antropologis, dan sebagian lain hanya memberikan tuntunan dalam kajian antropologi. Di sini, dibutuhkan suatu usaha untuk mengklasifikasikan sumber-sumber tersebut dan kemudian menyimpulkan inti sari dari petunjuk- petunjuk tersebut, sehingga dihasilkan petunjuk konsep antropologis Islami yang utuh.
Menjadikan tauhid sebagai dasar teoritis-metodologis dalam melakukan riset-riset ilmiah. Dalam langkah ini, konsep-konsep antropologi Barat yang materialis dibersihkan dari unsur-unsur materialisme dan atheisme, kemudian ditiupkan didalamnya konsep tauhid sebAgai ganti dari kecenderungan materialis dan atheis tersebut.
Membebaskan anggitan keilmuan antropologi dari metodologi empiris yang terbatas. Sebaliknya, dalam anggitan antropologi Islam yang kita gagas menggunakan multi metodologi; induksi, deduksi, exprimental, historis, palsafi, dan tekstual.
Menciptakan kedisiplinan ilmiah dan membebaskan riset ilmiah dari pengaruh ideologis. Konsep antropologi Barat yang amat dipengaruhi oleh paktor ideologis, pada gilirannya menghasilkan kajian antropologis yang terbias oleh faktor ideologis yang dianut oleh periset. Sehingga M. Grauvitz dalam bukunya Methodes de Sciences Sociales mengatakan: Objektifitas secara utuh dalam antropologi mustahil diwujudkan, dan usaha untuk menciptakan suatu kesimpulan bersama terhadap suatu fenonema adalah suatu usaha yang sia-sia. Maka, dalam anggitan antropologi Islam harus dibedakan secara tegas antara faktor ideologis diri periset dan kejujuran ilmiah terhadap riset yang ia jalankan.
Mengembalikan unsur moral/akhlak dalam riset ilmiah. Dalam konsep-konsep antropologi Barat, manusia “ditelanjangi” dari nilai-nilai yang ia pegang serta kecenderungannya, maka dalam konsep antropologi Islam unsur akhlak ini dimasukan sebagai bagian dari konsep tersebut.
Membedakan antara yang sakral yang profan dalam kajian antropologis. Dalam konsep antropologi Barat kenisbian nilai telah menjadi taken for granted, dan tanpa membedakan antara yang sakral dengan yang profan. Sedangkan dalam konsep antropologi Islam unsur ini amat diperhatikan. Karena Islam mengatur kehidupan manusia dari semua segi; materi, ruhani, intelektualitas dan akhlak yang berpedoman pada ajaran-ajaran yang konstan (tsabit), sehingga bentuk perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam tatanan masyarakat yang telah menyimpang dari nilai-nilai yang konstan ini tidak akan diterima sebagai suatu kondisi final suatu masyarakat 30.

Setelah langkah-langkah di atas dilaksanakan, maka kita sudah mendapatkan sebuah konsep antropologi Islam yang utuh. Namun dengan terciptanya sebuah konsep tidak serta merta menghasilkan apa yang diinginkan jika tidak dilakukan langkah aplikatif yang real. Oleh karena itu, untuk mewujudkan secara real konsep-konsep antropologi Islam, Akbar S. Ahmad menyarankan untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Menulis sejarah sosial yang ringkas tentang sirah Rasulullah Saw. yang bisa dipahami oleh embaca Muslim maupun non-muslim. Sehingga dari sejarah masyarakat Islam ideal —meminjam istilah Akbar S. Ahmad — tersebut dapat ditarik suatu konsep tentang masyarakat Islam yang dicita-citakan.
Menulis buku-buku antropologi percontohan berkualitas tinggi, kemudian buku- buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa besar umat Islam. Sehingga buku-buku tersebut bisa menjadi acuan kajian lanjutan di semua wilayah masyarakat Islam.
Menulis buku-buku kajian antropologis tentang setiap wilayah Islam, kemudian buku itu disebarkan ke seluruh dunia Islam.
Menseponsori pakar-pakar antropologi Islam untuk mengadakan penelitian atas seluruh wilayahh negara Islam.
Mengadakan kajian komparatif antara setiap wilayah-wilayah masyarakat Islam, sehingga kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih untuk tentang masing- masing wilayah tersebut.
Menguasai secara utuh prinsip-prinsip teknis kajian sosial, terutama yang berkaitan dengan pembangunan, sehingga bisa dirancang sebuah agenda pembangunan dunia Islam bersama yang lebih baik pada abad dua puluh satu nanti.
Menelaah secara intens karya-karya ilmuan Islam yang berkaitan dengan sosiologi dan antroppologi, kemudian hasil telaah tersebut diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah atau buku khusus 31.

Objek Kajian Antropologi Islam

Pertanyaan yang mungkin timbul kemudian adalah, topik apa saja yang akan menjad objek kajian antropologi Islam. Jamaluddin ‘Athiyyah, dalam artikelnya di jurnal The Contemporery Muslim menawarklan bahwa antropologi Islam yang kita gagas nantinya akan memberikan objek kajiannya pada topik-topik berikut ini:
Penciptaan manusia. Dalam point ini, akan dikaji tentang awal penciptaan manusia dan bagaimana manusia kemudian berkembang. Tentu saja teori evolusi Darwin akan menjadi bagian kajian point ini. Juga pertanyaan tentang apakah sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan Iqbal, misalnya, yang mengatakan dalam bukunya The Reconstraction of Religious Thought in Islam, bahwa Adam yang disebut dalam al Qur’an lebih banyak bersifat konsep tinimbang historis 32.
Susunan manusia. Akan dikaji tentang susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh, akal, hati, mata hati dan nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai dengan konsep Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat, jinn, hewan, tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk-makhluk tersebut.
Macam-macam manusia. Meneliti tentang perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan, suku-suku, bangsa-bangsa, perbedaan bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
Tujuan diciptakannya manusia. Mengkaji tujuan diciptakan manusia dan apa misi yang dibawanya di atas bumi. Sambil menjelaskan tentang pengertian ibadah, khilafah, pembumi dayaan dunia dan sebagainya.
Hubungan manusia dengan semesta. Pada point ini akan diteliti tentang konsep taskhir alam semesta bagi manusia. Apakah dengan konsep tersebut manusia adalah pusat semesta ini?. Serta tentang equilibrium antara manusia dengan semesta dengan segala isinya. Hal ini akan berkaitan dengan ilmu lingkunngan hidup.
Hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Akan dikaji apakah beragama adalah fithrah dalam diri manusia? Juga tentang peran nabi-nabi, kitab-kitab suci dan ibadah dalam hubungan ini.
Manusia masa depan. Di sini akan dikaji tentang rekayasa manusia masa depan. Antara lain tentang pembibitan buatan, bioteknologi, manusia robot dan hal-hal lainnya.
Manusia setelah mati. Pada point ini akan dikaji tentang bagaiman manusia setelaha mati, serta apa yang harus ia persiapkan di dunia ini bagi kehidupannya di akherat nanti 33.

Khatimah:

Setelah permasalahan, teori, konsep dan langkah-langkah di atas telah diuraikan, kini yang menanti selanjutnya adalah bagaimana menyatukan antara kata dan realita, rencana dengan kerja, das sollen dengan das sain. Dan, Itu semua tentunya adalah tanggung jawab cendekiawan muslim untuk mengejawantahkannya. Wallahu a’lam.




Hawamisy:
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, cet.X, 1987, hal.3.
Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. ll, cet. l, Jakarta, Balai Pustaka, 1991, hal. 50.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, cet. II, penerbit: Universitas Indonesia, Jakarta 1965, hal. 18.
Scn.1, hal. 13.
Lihat: Dr. Jamaludin 'Athiyyah, Nahwa Manzhur Islami li 'Ilmi 'l Insan, The Contemporary Muslim, Vol. XVI, no. 64, 1992, hal. 5.
Dr.Jamaluddin 'Athiyyah, Nahwa 'Ilmi Insan Islami, kertas kerja pada seminar International Institute of Islamic Thought (IIIT), Ma'had 'Alami lil Fikri 'l Islami, Cairo, 1992, hal. 1.
Artikel ini diterbitkan dalam New Left Review, 1970, no. 64:71-85
Dipublikasikan dalam Anniversary Contributions to Anthropology: Twelve Essays, Leiden, 1970.
Scn. 6, hal. 2.
Akbar S. Ahmad, Toward Islamic Anthropolgy, edisi bahasa Arab, IIIT, 1989, hal, 30.
Lihat: Muhammad Amziyan, Naqdu Manahij 'l Ulum 'l Insaniyyah min Manzhur Islami wa Khutwatu Shiaghati Manahij Islamiyyah lil 'Ulum 'l Insaniyyah, IIIT, tt.
Lihat: Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, 1991, hal. 327
Scn.10, hal. 19 dan seterusnya.
Sca. hal. 25.
Sca. Hal. 26.
Edward Said, Orientalism, London, Routledge and Kegan Paul, 1978, pp.40.
H.A.R. Gibb, Muhammedanism, Oxford University Press, 1980.
Gustave E. von Grunebaum, Muhammadan Festivals, New York: genry Schuman, Inc.
Scn.10, hal. 103.
Buku ini diterbitkan oleh Cambridge University Press, New York.
Buku ini diterbitkan di London, Zed Press, 1980.
Scan.10, hal. 113, dan scn. 6, hal. 2-3.
Akbar S. Ahmad, Al-Biruni: The First Anthropologist, Spring, London, Royal Anthropology Institute News.
Isma'il R. al-Faruqi, Islamisation of Knowledge: General Principles and Workplan, IIIT, Washington, 1982.
Dengan cukup panjang lebar, gagasan ini dikaji oleh Ziauddin Sardar, dalam bukunya Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come, 1985, Mansell Publishing Limited, London, New York.
Seperti yang dilakukan oleh Ziauddin Sardar, dan Kuntowijoyo.
Jujun S. Suriasumantri, Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, dalam Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, A.M. Saefuddin et al.Bandung, 1990, hal. 14-15.
Scn.5, hal.6.
Ziauddin Sardar, scn.24, hal. 71-72.
Scn.11, hal. 27 dan seterusnya.
Scn.10, hal.137 dan seterusnya.
Lihat: Allamah Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, 2nd.ed, Lahore, 1989, p.66
Scn. 5, hal.7-8.

Selasa, 21 Desember 2010

Emansipasi Perempuan

Luce Irigaray, dan Basis Emansipasi Perempuan

“And all the egalitarian slogans keep pushing us further back.

In my opinion, all those slogans simply promote a totalitarian ideology”,

Luce Irigaray

Pengantar
Luce Irigaray (1932-…) adalah seorang feminis Perancis yang unik. Dia termasuk pembawa gerakan feminisme generasi kedua yang tidak sekadar mempertanyakan ketidaksetaraan sosial yang dialami keum perempuan, melainkan mengamati struktur ideologis yang sudah tertanam lama dan membuat perempuan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Keunikan yang segera tampak setelah membaca karyanya adalah bahwa baginya yang esensial dalam perjuangan pembebasan perempuan bukanlah menuntut kesetaraan, melainkan dengan membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin. Dan oleh karenanya untuk mencapai cita-citanya itu, Irigaray menegaskan bahwa emansipasi perempuan hanya bisa diwujudkan dengan suatu “teori tentang gender yang berlandaskan jenis kelamin dan penulisan kembali kewajiban dan hak setiap jenis kelamin, sebagai dua unsur yang berbeda dalam kewajiban dan hak sosial”.[1] Dengan ini dia bermaksud menawarkan suatu upaya untuk membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin.

Irigaray adalah ahli linguistik, sekaligus seorang filsuf. Ia dengan gemilang juga memanfaatkan capaian-capaian psikoanalisis dalam kajian filsafat dan pengandaian-pengadaian teoritiknya, terutama guna menyingkap sistem-sistem patriarkal yang membelenggu dan membungkam suara kaum perempuan.

Dalam tulisan ini, saya hendak menguraikan beberapa bagian dari gagasan Irigaray terutama kritiknya pada dasar-dasar sistem patriarkal. Lalu dilanjutkan dengan usaha besar Irigaray untuk mengembalikan identitas dan subjektifitas perempuan,dan bagian berikutnya akan ditunjukkan kritik dan kesimpulan.

Membongkar Budaya Patriarki

Dalam karyanya Speculum of the Other Woman, Irigaray berusaha mengembangkan tulisan yang khas feminis yang menyerang mitos dan hegemoni pemikiran kaum lelaki yang hadir dalam tradisi filosofis Barat dan disiplin kajian psikoanalisis, yang telah berperan besar terhadap pembungkaman suara kaum perempuan.[2]

Luce Irigaray mengritik rasio pencerahan. Menurutnya rasionalitas pencerahan tidak berlaku bagi perempuan karena ia meremehkan elemen-elemen non-rasional dalam pikiran manusia, demikian juga kehendaknya untuk berkuasa, mengontrol, memanipulasi dan menghancurkan atas nama yang rasional itu. Cara berpikir Pencerahan bersifat khas laki-laki. Kritik terhadap rasionalitas yang bersifat laki-laki ini, bagi Irigaray, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengunggulkan irasionalitas perempuan. Melainkan semata hendak menunjukkan bahwa rasionalitas itu memiliki struktur tertentu, yakni prinsip identitas, prinsip nonkontradiksi (A adalah A, A bukan B) yang menyingkirkan ambiguitas dan ambivalensi, dan binerisme (oposisi alam/rasio, subjek/objek)

Jika rasio pencerahan mendapat kritik yang mendasar, Irigaray lebih jauh berusaha membongkar dasar hegemoni patriarki yang terbangun dalam tradisi budaya Barat beserta mitos-mitos yang berdiri di belakangnya. Untuk tujuan ini Irigaray berhutang budi pada konsep seksualitas Freud yang menyatakan bahwa dorongan seksualitaslah yang mempengaruhi kehidupan intelektual dan kultural manusia.[3]

Teori dasar Freud mengenai perempuan setidaknya tergambar dalam konsep katrasi atau pengebirian. Menurut Freud, bagian terpenting dari perkembangan seksual lelaki dan perempuan adalah ada tidaknya penis pada mereka. Kaum perempuan merasa sebagai manusia yang tidak lengkap dan selalu merasa kurang karena tidak memiliki penis, oleh sebab itu merasa dikebiri. Dan oleh karena itu pula mereka selalu merasa inferior. Bagi kaum Freudian status nomor dua yang ditujukan kepada kaum perempuan tidak bisa dihindari karena perempuan kekurangan organ penis yang menyimbolkan kesuperioritasan dan keotoritasan.

Selain melalui Freud, Irigaray juga memanfaatkan gagasan Lacan untuk mengritik, melawan dan mengajukan penjelasan psikoanalisis pada bias teoritis dalam kajian psikoanalisis. Berdasarkan konsep Lacan tentang Yang Real, Yang Simbolik, dan Yang Imajiner[4], Irigaray menganalisis bahwa tatanan simbolik Lacan, yakni kondisi bahasa, pada dasarnya bersifat maskulin dan patriarkal: yakni bahwa tatanan ini hanya mengartikulasikan pemikiran imajiner kaum lelaki dan, tatanan tersusun menurut hukum dan tatanan simbolik yang bersifat merangkum dan mendasarinya.

Sehingga apapun yang berada di luar tatanan simbolik itu harus diterjemahkan agar sesuai dengan tatanan bahasa itu. Dalam konteks ini, karena tatanan simbolik sepenuhnya falik, maka ruang artikulasi bahasa perempuan menjadi teredam, dan tidak ada pilihan bagi perempuan kecuali berbicara dan berkomunikasi kecuali dengan cara menyesuaikan diri dengan bahasa patriarkal.[5]

Melalui psikoanalisis Freud dan Lacan inilah Irigaray tampaknya disadarkan bahwa konsep-konsep yang dibangun psikoanalisis, dan juga filsafat, telah dibangun oleh tokoh-tokohnya dengan bahasa dan cara pandangan kaum lelaki, dan karenanya sepenuhnya berbias maskulin. Lebih jauh Irigaray dalam satu gebrakan sesungguhnya juga mengkritik kategori-kategori Marxis dan sekaligus menegaskan bahwa keterpinggiran perempuan tidak semata-mata akibat dari hubungan produksi dalam ekonomi, melainkan juga disebabkan oleh keterpinggiran dalam tatanan dan hubungan-hubungan simbolik. Justeru melalui tatanan simbolik dan bahasa yang sepenuhnya phallocratic inilah, drama tentang kepenuhan yang maskulin dan kekurangan yang feminin ini beroperasi.

Irigaray menulis,

“Perbedaan seksual bukan sekadar data alami, ekstra bahasa. Perbedaan itu mempengaruhi bahasa dan bahasa mempengaruhnya….. perbedaan itu terletak di pertemuan alam dan kebudayaan. Namun peradaban patriarkal menurunkan nilai feminin sedemikian rupa sehingga realitas dan deskripsinya tentang dunia keliru. Maka alih-alih tetap merupakan gender yang berbeda, dalam bahasa kita feminin menjadi bukan-maskulin, artinya suatu realitas abstrak yang tidak hadir.”[6]

Pandangan dunia Barat yang phallocratic dan monoseksual telah mendefinisikan status perempuan sebagai laki-laki yang tidak utuh, sebagai yang “bukan maskulin”. Dampaknya adalah sarana komunikasi sosial juga didominasi oleh bahasa falik. Dan dalam sistem patriarki sesungguhnya perempuan mengalami keterbungkaman oleh suatu bahasa falik yang cenderung merendahkan dan meletakkan perempuan sebagai objek dalam hubungannya dengan subjek maskulin. Dan pada akhirnya struktur bahasa yang falik, menurut Irigaray, berperan besar menenggelamkan eksistensi dan identitas perempuan.

Sebagai seorang ahli lingustik, Irigaray membuat kajian mendalam terhadap bahasa dan ia menggarisbawahi bahwa kebudayaan patriarkal terwujud pada sistem batin bahasa.

Menurut Irigaray, adanya perbedaan gender gramatikal bukan tanpa alasan dan semena-mena, melainkan memiliki alasan semantik. Dan pemisahan pemaknaannya pun berkaitan dengan pengalaman inderawi dan kebertubuhan, dan bahwa pemisahan itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Perbedaan seksual, misalnya, menentukan sistem pronomina, ajektiva posesif, juga gender kata dan pengelompokannya dalam kategori gramatikal: hidup/tak hidup, konkrit/abstrak, maskulin/feminin, dan seterusnya. Lebih lanjut dalam konteks budaya patriarki, kaum lelaki selalu berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan cara merepresentasikan segala sesuatu yang bernilai sesuai dengan citra dan gender gramatikalnya sebagai maskulin.[7] Ini terlihat dari pengelompokan kata bergender bahwa apa yang bernilai adalah maskulin, sedangkan yang tidak bernilai adalah feminin. Demikian juga pada matahari dilektkan gender maskulin, bulan bergender feminin; langit adalah laki-laki, sedangkan bumi adalah saudara perempuannya.

Membangun Budaya Baru

“Pokoknya kebutuhan kita pertama-tama atau yang harus dipenuhi adalah hak memiliki harkat manusiawi bagi semua orang. Itu berarti sebuah hak yang mengunggulkan perbedaan… Suatu keadilan sosial, khususnya keadilan seksual hanya dapat diwujudkan jika ada perubahan kaidah bahasa dan konsepsi mengenai kebenaran serta nilai-nilai yang mengatur tatatanan masyarakat.”[8]

1. Transformasi Bahasa

Dalam tradisi Barat kondisi feminin masyarakat diredam dan disingkirkan. Kaum perempuan tidak memiliki sarana-sarana simbolik yang memungkinkan mereka mengembangkan suatu bentuk komunikasi dan cara wicara yang bisa membentuk identitas dan subjektifitas mereka. Oleh karena itu untuk keluar dari penjara bahasa patriarki, menurut Irigaray kaum perempuan memerlukan sarana simboliknya sendiri, yakni rumah bahasa yang memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang. Irigaray secara tegas menyatakan bahwa “keniscayaan kebahasaan menentukan gerakan pembebasan”.[9]

Irigaray menegaskan bahwa pembebasan berbasis gender mustahil bisa dilakukan tanpa tanpa perubahan kaidah bahasa yang berkaitan dengan gender gramatikal. Mengapa? Karena bahasa adalah alat untuk memproduksi makna. Bahasa juga berperan membangun bentuk-bentuk mediasi sosial dari hubungan interpersonal hingga dalam relasi-relasi politik. Sehingga ketika hegemoni dan penghapusan subjek dan identitas perempuan berlangsung dan bekerja pada ranah simbolik, maka pembebasan perempuan melalui transformasi bahasa menjadi keniscayaan utama.

Pembebasan subjek perempuan ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa strategi, yakni kaidah bahasa baru tersebut diciptakan berdasarkan prinsip perbedaan seksual. Bagi Irigaray hal ini sangat penting karena bahasa sesungguhnya adalah alat bertukar dan berkomunikasi antar dua pihak yang hidup di dunia dengan perbedaan jenis kelamin. Dan kaidah bahasa baru ini pertama-tama diharapkan mampu menyeimbangkan hubungan di antara dua jenis kelamin baik dalam bahasa itu sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan, sehingga pada akhirnya kaum perempuan mampu menemukan dirinya kembali sebagai subjek.

2. Etika Perbedaan Seksual

Selain strategi linguistik tersebut di atas, Irigaray menekankan pentingnya perbedaan seksual sebagai landasan etis dalam membangun relasi antara laki-laki dan perempuan. Tujuan Irigaray ini tidak lain adalah usaha membangun countersystem yang bersifat khas feminin untuk membuka ruang bangkitnya identitas seksual yang positif bagi perempuan sekaligus membangun relasi subjektif “To Be Two”[10] antara lelaki dan perempuan. Untuk tujuan ini ia memberikan latar argumentasi politis dan juga filosofis, bahkan argumentasi biologis dan pragmatis.

Berbeda dengan gerakan feminis pertama, Irigaray mengajukan konsep perbedaan seksual sebagai basis pembebasan perempuan disebabkan kenyataan realitas konkrit keterpinggiran kaum perempuan, bukan hanya akibat dominasi bahasa patriarkis melainkan juga oleh berbagai slogan yang mengatasnamakan kesetaraan lelaki-perempuan dan slogan kenetralan dalam klausul berbagai konvensi dan perundang-undangan. Menurutnya, slogan-slogan kesetaraan itu sudah menjadi candu masyarakat dan suguhan ilusi bagi kemajuan.

Irigaray menulis,

“And all the egalitarian slogans keep pushing us further back. In my opinion, all those slogans simply promote a totalitarian ideology”[11]

Di dalam kata pengantar edisi Perancis untuk bukunya Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, Irigaray nyata-nyata menelanjangi Deklarasi HAM PBB dimana klausul-klausul yang ada di dalamnya dianggapnya telah mengingkari realitas keseharian kaum perempuan. Bukan hanya itu, menurutnya Deklarasi HAM bukanlah poin-poin normatif yang bersifat netral secara ideologis, melainkan sepenuhnya didefinisikan oleh kepentingan kaum lelaki.

Oleh karena itu untuk mempertahankan kepentingan dan melindungi diri dari manipulasi ideologi kesetaraan semacam itu, Irigaray secara politis menekankan pentingnya perbedaan seksual untuk memproteksi identitas kemanusian kedua jenis kelamin itu. Dan atas dasar itu, menurut Irigaray, hak-hak kaum perempuan harus didefinisikan kembali sehingga ia memperoleh hak yang sesuai dengan identitasnya sebagai perempuan. Dengan mendefinisikan hak-hak yang sesuai dengan dua jenis kelamin itu artinya kaum perempuan berupaya menggantikan susunan hak-hak abstrak yang mengandaikan individu-individu yang netral yang sama sebagaimana tertera dalam Deklarasi HAM Internasional. Di antara hak-hak konkrit yang mendukung identitas perempuan dimaksud, misalnya: hak untuk terhindar dari kekerasan fisik dan moral (hak tentang keperawanan dan kesucian pikiran), hak menjadi ibu yang bebas dari pengawasan sipil dan agama, hak terhadap kebudayaan perempuan yang spesifik, dan seterusnya.[12]

Selain upaya politis merumuskan nilai-nilai baru yang mempertimbangkan perbedaan seksual lelaki-perempuan, Irigaray secara fenomenologis juga menawarkan pola relasi baru yang khas feminin antara lelaki dan perempuan. Yakni suatu pola relasi intersubjektif yang menghargai perbedaan jenis kelamin, yang memungkinkan tidak adanya saling mengobjekkan atau saling mendaku antara diri (the self) dan yang lain (the other).

Pola relasi ini dirumuskan Irigaray saat membahas teks dari buku Maurice Merleau-Ponty Phenomenology of Perception tentang “tubuh seksual”.[13] Irigaray mengritik fenomenologi Ponty sebagai fenomenologi pesimistik, karena menurut Ponty, melalui kebertubuhan pola relasi diri dan yang lain (the other) adalah dialektika subjek-objek. Terhadap orang yang lain, saya menjadi subjek bagi diri sendiri dan sekaligus menjadi objek bagi orang lain. Irigaray juga menilai Ponty melupakan fungsi seksualitas sebagai suatu hubungan-dengan (a relationship-to), sekaligus mengabaikan persepsi sebagai sarana untuk menyambut yang lain sebagai yang lain (other).

Padahal melalui persepsi[14], dan bukan melalui sensasi, menurut Irigaray kita bisa melihat, mengenal dan lebih menghormatinya orang lain sebagai subjek, tanpa harus mengurangi nilai diri kita sebagai subjek. Demikian juga dalam relasi kebertubuhan, kita sama sekali bukanlah sosok subjek yang mencari objek dalam diri orang lain. Melainkan kita menyadari adanya relasi dialektik subjektifitas dan objektifitas itu dalam dan bagi diri kita, demikian juga bagi orang lain, tanpa suatu dikotomi subjek-objek. Dalam hubungan ini subjektif ini, masing-masing diri kita saling merawat dan menumbuhkan kejatidirian masing-masing.

Melalui fenomenologi, Irigaray melukiskan etika relasi perbedaan diri dan yang lain (the other) itu sebagai berikut:

Thanks to perception, we can each become, the one for the other, a bridge towards a becoming which is yours, mine, and ours. I can be a bridge for you, as you can be one for me…. I perceive You, I create an idea of you, I preserve you in my memory – in affect, in thought—in order to assist you in your becoming.[15]

Apa yang menarik dari argumentasi politis maupun filosofis yang khas feminin mengenai pentingnya basis perbedaan seksual lelaki-perempuan bagi pembebasan perempuan dalam relasi sosial dan simbolik ini adalah bahwa Irigaray juga menyuguhkan argumentasi yang bersifat biologis sebagai modal argumentasi. Dalam hal ini kajian Irigaray mengenai peran organ plasenta saat kehamilan ibu adalah contoh menarik.

Dalam wawancaranya dengan Helene Rouch, seorang guru biologi di sekolah Colbert, Paris, [16], Irigaray memperoleh insight berharga mengenai keterbukaan relasi yang ditunjukkan antara janin dan plasenta. Rouch menjelaskan, plasenta adalah jaringan yang terbentuk oleh embrio tetapi ia tetap merupakan entitas yang terpisah dan tidak tergantung pada embrio itu. Uniknya plasenta ini memainkan peran mediator pada dua level. Di satu pihak ia menghubungkan antara ibu dan janin, dan dipihak lain ia membentuk sebuah sistem yang mengatur pertukaran (baik berbentuk nutrisi dari ibu ke janin maupun berupa kotoran ke arah sebaliknya) diantara kedua organisme (ibu dan janin). Sehingga dalam hubungan yang kompleks ini, janin berkembang tanpa melemahkan ibu, dan tidak sekadar memasok nutrisi.

Dari penjelasan Helene Rouch ini, Irigaray mengambil titik kesimpulan penting. Plasenta adalah asal usul biologis dari relasi berbasis perbedaan dan penghormatan pada perbedaan. Ini artinya, tubuh perempuan memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh kebudayan (maksudnya: patriarki), berupa mekanisme toleransi terhadap perkembangan tubuh lain dalam dirinya tanpa menjadi penyakit, tanpa penolakan maupun kematian salah satu dari organisme hidup.

Irigaray menegaskan,

“Budaya antarlelaki bergerak terbalik. Artinya, menata diri dengan menyingkirkan dari masyarakatnya sumbangan dari jenis kelamin yang lain. Ketika tubuh perempuan memberi keturunan dengan menghormati perbedaan, kelompok masyarakat patriarkal dibangun secara hierarkis dengan menyingkirkan perbedaan.”[17]

Selain penjelasan biologis di atas, Irigaray juga mengajukan argumen pragmatis. Identitas gender yang dibangun berdasarkan perbedaan jenis kelamin perlu agar spesies manusia lestari, bukan hanya untuk reproduksi melainkan juga untuk kebudayaan dan regenerasi kehidupan.[18]

Catatan Akhir

Gagasan-gagasan Irigaray sebagaimana yang saya tampilkan dalam tulisan ini sangatlah istimewa. Melalui kajian filsafat dan psikoanalisisnya terhadap sejarah dan kesadaran manusia, ia berhasil membongkar sistem patriarki yang tersedimentasi dalam bahasa, masyarakat, dan kebudayaan yang meminggirkan posisi, peran, subjektifitas dan identitas kaum perempuan.

Namun Irigaray sesungguhnya tidak terpaku sampai di situ. Ia juga berusaha mencari jalan keluar agar kaum perempuan menemukan kembali identitas dan subjektivitasnya yang teredam melalui berbagai strategi. Irigaray menawarkan nilai-nilai baru yang digali dari pengalaman tubuh dan kebertubuhan perempuan, seperti: peran plasenta saat kehamilan perempuan, juga dari mitos-mitos sejarah dan simbol-simbol yang bisa mengembalikan subjektifitas perempuan, seperti: bunda Maria yang digendong ibunya, dan juga strategi untuk memutasi kaidah-kaidah bahasa, sistem budaya dan masyarakat.

Bagi Irigaray, karena peminggiran perempuan terjadi karena perbedaan jenis kelamin, maka pembebasannya pun haruslah bertolak dari pembedaan jenis kelamin. Oleh karena itulah, slogan kesetaraan lelaki-perempuan seperti yang disuarakan oleh sebagian kaum feminis harus ditolak sebab bunyi-bunyian itu utopia belaka. Tuntutan itu seperti mimpi saja di siang bolong, bahkan malahan saja tuntutan semacam itu bisa melanggengkan konstruksi sosial dan budaya patriarkal yang sudah terlanjur mendominasi dan menggelamkan identitas dan subjektifitas perempuan.

Namun dari sini untuk sebagian titik tolak perbedaan jenis kelamin ini melahirkan pertanyaan. Seolah-olah Irigaray memandang perbedaan laki-laki dan perempuan itu sebagai realitas yang homogen: lelaki mesti lelaki dan perempuan mestilah perempuan. Sebagaimana juga disinggung John Lechte dan Madan Sarup, secara politis hal ini menimbulkan sikap bahwa seorang laki-laki tidak bisa menjadi feminis. Mustahil ada lelaki feminis! Karena menurut Irigaray, kefemininan seorang lelaki adalah usaha penjajahan kesekian kalinya yang akan mengeluarkan perempuan dari ruang kulturalnya.[19]

Masalah inilah rupanya yang akan menjadi perbincangan hangat dalam untaian gagasan Irigaray. Ia begitu menekankan peran perempuan-sebagai-subjek, sehingga menjadi cara, kalau bukan satu-satunya cara, untuk keluar dari penjara patriarki. Dalam konteks inilah maka rasanya wajar bila perjuangan perempuan hanya mungkin apabila diupayakan oleh kaum perempuan sendiri dengan terlibat langsung dalam proses rekayasa kultural dan politik, demi menghindari bias-bias ideologis yang mungkin dalam proses itu. []

Daftar Pustaka:

Craig, Edward (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, Vol. 5, Routledge, London, 1998

Irigaray, Luce, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, (terjemahan dari Je, tu, nous. Pour une culture de la difference), Penerbit KPG, Jakarta, 2005

Irigaray, Luce, To Be Two, The Athlone Press, London and New Brunswick, NJ, 2000

Irigaray, Luce, Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, The Athlone Press, London, 1994

Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Poststrukturalisme, (terj.), Penerbit, Kanisius, 2001

Sarup, Madan, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, (terj.), Penerbit Jendela, 2003

[1] Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, (terjemahan dari Je, tu, nous. Pour une culture de la difference), Penerbit KPG, Jakarta, 2005, hal. 11-13. Menurut Irigaray tuntutan kesetaraan lelaki-perempuan adalah ekspresi kritik budaya yang dangkal, dan sekaligus bersifat utopis. Karena itu berarti menuntut pelenyapan perbedaan jenis kelamin yang sama halnya dengan upaya pembantaian umat manusia. Lagi pula, tuntutan itu hanya melanggengkan konstruksi sosial dan budaya patriarkal saja yang sudah terlanjur meminggirkan dan melenyapkan identitas dan subjektifitas perempuan.

[2] Madan Sarup, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, (terj.), Penerbit Jendela, 2003, hal. 204.

[3] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Poststrukturalisme, (terj.), Penerbit, Kanisius, 2001, hal. 248

[4] Menurut Lacan, Yang Real merepresentasikan posisi ibu dan kematian, Yang simbolik sebagai lingkup hukum yang didasarkan pada demi Nama-Bapa, serta Yang Imajiner sebagai akibat dari Yang Simbolik dalam kesadaran dan imajinasi.

[5] John Lechte, Ibid., hal. 248-249

[6] Irigaray, Aku, Kamu, Kita, hal. 21-22

[7] Irigaray, Ibid., hal. 88-89

[8] Irigaray, Ibid., hal. 23-24

[9] Irigaray, Ibid., hal. 41

[10] Frase “To Be Two” merupakan judul salah satu buku Irigaray yang membahas masalah ini, yakni bagaimana membangun sebuah relasi lelaki-perempuan yang bukan saja berniat tanpa melenyapkan identitas dan subjektivitas salah satu dari kedua jenis kelamin, melainkan juga berorientasi saling menumbuhkan, memperkaya dan merawat kehidupan, kebebasan dan identitas masing-masing. Lihat, Luce Irigaray, To Be Two, The Athlone Press, London and New Brunswick, NJ, 2000

[11] Luce Irigaray, Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, The Athlone Press, London, 1994, hal.xi. Bandingkan dengan: Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, hal. 100

[12] Irigaray, Thinking the Difference, hal. xv-xvi

[13] Irigaray, To Be Two, hal. 20-22

[14] Bagi Irigaray, hanya dengan persepsi kita bisa menghubungkan antara penerimaan kita terhadap yang lain dan intensi kita pada dunia dan realitas lain. Sementara sensasi adalah pengalaman pasif yang membagi intersubjektifitas ke dalam dikotomi subjek dan objek. Bagi Irigaray hubungan yang dibentuk melalui sensai melahirkan intersubjektifitas yang dekaden.

[15] Irigaray, To Be Two, hal. 43

[16] Lihat Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita, hal. 48-50

[17] Irigaray, Ibid., hal. 57.

[18] Irigaray, Ibid., hal. 15 dan 45.

[19] Lihat John Lechte, Op.cit., Hal. 253; lihat juga, Madan Sarup, Op.cit., hal. 212-213

*Sumber : http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/24/irigaray-emansipasi-perempuan-perbedaan-seksual/

Teori Perubahan Sosial

Perspektif Teori tentang Perubahan Sosial; Struktural Fungsional dan Psikologi Sosial

Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat.
Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte.

Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian:

ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.

Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.

Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.

Teori-teori terus berkembang dengan pesatnya. Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi.

Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.

Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsu adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :

1. Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangu situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.

4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya.

Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.

Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.

Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

Selasa, 30 November 2010

Etnometodologi

Etnomethodologi pertama kali di perkenalkan oleh Harold Garfinkel, dalam bukunya Studies in Ethnomethodology (1984), untuk pertama kali di tahun 1967, sebuah pendekatan baru yang berbeda dari pendekatan sosiaologi biasa. Studies in Ethnomethodology terbit pada priode revolusi ilmu-ilmu social yang kacau, dan selama waktu-waktu itu , dominasi paradikma fungsional-struktural Parsons yang menjadi standar sosiologi sebelumnya masih berdiri tegak. Konsekuensi yang tidak menyenangkan adalah ethnometodologi di pahami sebagai “metode tanpa substansi”(Coser: 1975).

            Garfinkel, sudah mendeklarasikan sebelumnya kalau dari istilah `ethnometodologi` inilah akan tersusun sebuah perinsip yang akan membentuk jalan hidupnya sendiri. (Garfinkel:1974,hal.18)

            Garfinkel sepanjang hayatnya difokuskan mengenai permasalahan-permasalahan konseptual yang menjadi topic utama sosiologi, isu ini ialah mengenai tindakan social, hakekatt intersubjektivitas dan pembentukkan pengetahuan secara social. Grafinkel mengeksplorasi bidang ini melalui sifat-sifat dasar dan penalaran praktis. Studi ini di maksudkan untuk memisahkan antara teori tindakan dari kesibukan tradisionalyang bergulat dengan masalah motivasi.

            Garfinkel lalu menyimpulkan bahwa jikalau tindakan—tindakan sosisal sehari-hari di bangun di atas premis rasionaliitas ilmiah, maka hasilnya bukan sebuah aktivitas melainkan ketidak aktifan, disorganisasi dan anomi (inactivity, disorganization and anomie, Garfinkel 1952;1984,hal.270-271). Dengan usulan yang terakhir ini Garfinkel menetapkan sebuah wilayah baru bagi kajian social;  study tentang sifat-sifat penlaran akal-sehat praktis dalam situasi tindakan sehari-hari. Usulan ini mengandung penolakan penggunaan rasionalitas ilmiah hsebagai  titik sentral perbandingan untuk menganalisis penalaran sehari-hari.

            Study ini mendorong analis untuk memperkirakan semua komitmen apapun kepada versi tertentu struktus-struktur social sebelumnya (termasuk versi yang di pegang analis dan pertisipan sendiri )untuk mendukung penyelidikan tentang bagaimana petisipan nmenciptakan, merangkai, memproduksi dan memproduksi struktur-struktur social yang di ddalamnya mereka berorientasi. Ini disebut Ethnometodological indifference (Garfinkel dan Sack:1970) .Jadi di lapisan dasarnya study ini adalah studi tentang peenalaran praktis dan tindakan praktis, menahan diri untuk tidak melakukan penilaian yang berefek mendukung atau menolak hal tersebut.

            Sasaran Ethnometodologi adalah deskripsi menditail prektek2 sosial yang terorkanisasikan secara alamiah yang, seperti observasi-observasi di dalam ilmuu alam, bias di reproduksi, di periksa, dievaluasi dan membentuk dasar bagi studi dan penyimpulan yang  alamiah.

 

Sumber;

Giddens, Anthony dan Turner, Jonathan, 1987.Social Theory Today : Panduan SistematisTradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial.Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hal 383-470

Senin, 29 November 2010

LKMM TL 2010 Universitas Airlangga

Entahlah apa yang ada dalam benakku untuk tidak mengikuti Peraktek Kuliah Lapangan (PKL) mata kuliah Perubahan Masyarkat dan Kebudayaan, karena memang aku adalah orang yang mengaggap peluang itu datangnya cuman sekali, maka ketika kesempatan dan peluang itu mengarah ke aku, yang pilihannya adalah mengambil atau kehilangan. 

yah latihan Keterampilan Manajement Mahasiswa Tingkat Lanjut ( LKMM-TL) adalah salah satu bentuk kegiatan yang di adakan oleh rektorat terkait mengenai pengembangan soft skill mahasiswanya, di LKMM TL 2010 , bertempat di blessing Hills Trawas, Mojokerto dimualai 26 november sampai dengan 28 november 2010. dengan motto kami "Satukan tujuan, Menggapai impian , Menjadi Kader Bangsa"acara Tl sendiri lebih menekankan kepada materi materi kebangsaan, sebagai bentuk pengembangan dari Tingkat menengah (TM) yang membahas mengenai Rencana Pengembangan Organisasi (RPO) dan Tingkat Dasar( TD) yang membahas mengenai manajemen diri.

banyak hal yang kami dapatkan di sana, yang jelas sebagai anak kost kami (saya) sangat merasakan kenikmatan makan gratis, ilmu gratis, teman yang banyak, alam yang indah, materi yang asik, dan aerobic yang erotis (wkwkw).....

terlalu ruet untuk dibicarakan mengenai ke adaan disana semua terlalu indah, sehingga bingung untuk memilah mana dulu yang di ceritakan >_< 

hingga penghujung pertemuan kami di arena Blajar ini munculah tekad "Bertemu 10 Tahun lagi ; 26 november 2020) di blessing Hills Trawas Mojokerto, entah apa yang ada di benak kalian semua teman-temanku... saya hanya berdoa agar kita benar2 di pertemukan dalam keadaan seluruh peserta TL 2010 ini "menjadi kader bangsa" sukses di bidangnya.....!!! 

kalo pun ada yang masih dalam tahap sukses ga usah malu untuk g datang 10 tahun lagi..!! kami akan membantu... 10 tahun lagi akan membuktikan cita-cita kita sekarang kan!! 


Mari Satukan Tujuan!!! (di LKMM-TL)

Menggapai Impian!!!! (dalam Usaha hingga 10 tahun lagi)

Menjadi Kader bangsa!!!! ( mari di buktikan)

Strukturalisme

Levis-Strauss

Mitos dan Karya Sastra

Heddy Shri Ahimsa-Putra

 

Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60).

1.     Levi-Strauss, Bahasa dan Kebudayaan

Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjara Ningrat; 1987).

Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Yang kedua, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu sendiri.

Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models (Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan.

 

2.     Levi-Strauss Dan Linguistik Struktural

pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss lebih baik, perlu disampaikan konsep bahasa menurut para ahli linguistik yang mempengaruhi lahirnya teori ini. Diantara mereka yang sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural. (Levi-Strauss, 1978 via Ahimsa 2006).

a. Ferdinand de Saussure

Sebagai penemu konsep linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap teori Strukturalisme.

Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya mengenai hakekat gejala bahasa. Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep struktural dalam bahasa dan juga semiologi atau yang sekarang disebut dengan semiotik (Ahimsa, 2006).

Ada lima pandangan de Saussure yang mempengaruhi Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu;

 

1. Signified (tinanda) dan signifier (penanda);

Bahasa adalah suatu sistem tanda (sign). De Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda kebahasaan (linguistic sign), yang wujudnya tidak lain adalah kata-kata.

Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut signifier, dengan sebuah ide atau tinanda yang disebut signified, walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19 via Ahimsya, 2006 h. 35).

2. Form (wadah) dan content (isi)

Wadah atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep ini, isi boleh saja berganti tetapi makna dari wadah masih tetap berfungsi. Untuk menjelaskan konsep ini memang agak sulit. Kiasan yang sering digunakan untuk menggambarkan kedudukan wadah (form) dan isi adalah pergantian salah satu fungsi dari komponen permainan catur.

3. Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole)

Konsep langue merupakan aspek yang memungkinan manusia berkomunikasi dengan sesama. Inilah kenapa langue membicarakan juga aspek sosial dalam linguistik. Dalam langue terdapat norma-norma, aturan-aturan antarperson yang tidak disadari tetapi ada pada setiap pemakai bahasa. Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat individu, ia bisa mencerminkan kebebasan pribadi seseorang.

4. Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic)

De Saussure meyakini akan adanya proses perubahan bahasa. Oleh karena itu keadaan ini menuntut adanya perbedaan yang jelas antara fakta-fakta kebahasasan sebagai sebuah sistem, dan fakta-fakta kebahsaan yang mengalami evolosi (Culler, 1976, via Ahimsa, 2006; 46). Karena sifatnya yang evolutif maka tanda kebahasaan sepenuhnya tunduk pada proses sejarah.

5. Sintagmatik dan Paradigmatik

Dalam kontek ini de Saussure menyatakan bahwa manusia menggunakan kata-kata dalam komunikasi bukan begitu saja terjadi. Tetapi menggunakan pertimbangan-pertimbangan akan kata yang akan digunakan. Kita memiliki kata yang mau kita gunakan sebagaimana penguasaan bahasa yang kita miliki. Disinilah hubungan sintagmatik dan paradigmatik itu berperan.

Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep (Ahimsa, 2006; 47).

 

b. Roman Jakobson

Meskipun Jakobson terlahir setelah de Saussure, ia dikenal sebagai pengembang Semiotika Klasik. Konsep yang ditawarkan oleh Roman Jakobson (1896-1982) lebih condong pada para ahli bahasa dari Rusia (Rusian Linguist).

Pemikiran Jakobson berpengaruh besar pada diri Levi-Strauss pada konsepnya mengenai fenomena budaya. Jakobson memberikan pandangan kepada Levi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang sangat variatif tersebut (Ahimsa, 2006; 52).

Dalam pemikiran Jakobson unsur terkecil dari bahasa adalah bunyi. Dengan demikian kata diartikan sebagai satuan bunyi yang terkecil dan berbeda. Fonem sebagai unsur bahasa terkecil yang membedakan makna, meskipun fonem itu sendiri tidak bermakna.

Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain.

 

c. Nikolai Troubetzkoy

Nikolai mempengaruhi Levi-Strauss dalam hal strategi kajian bahasa yang berawal dari konsepsi mengenai fonem. Nikolai berpendapat bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep psikologis. Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa, dan bukan ide yang diambil dari pengatahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal oleh pengguna suatu bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang pernah belajar lingusitik. (Ahimsa, 2006)

 

3.     Beberapa Asumsi Dasar.

Ahimsa (2006; 66-71) menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut;

 

1. Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane; 1970; 13-14 Ahimsya; 66).

 

2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya.

 

Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia. (Ahimsa, 2006; 68).

 

3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut.

Pendekatan Verstehen (max Webber)

 

Max Weber menawarkan model analisis sistem simbol dengan pendekatanVerstehen (pemahaman) yang memungkinkan orang untuk bisa menghayati apa yang diyakini oleh pihak lain tanpa prasangka tertentu. Dalam tradis Verstehen, jika obyeknya adalah sistem budaya, maka bisa dipihal antara tradisi agung (great trdition) dan tradisi rendah (litlle tradition).

Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan  sosial. Bagi weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Intrspeksi bisa memberikan seorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang prilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam interaksionisme simbol.

Tindakan Subyek harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung didalamnya. Untuk itu, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subyektif ini secara obyektif dan analitis.
Konsep Rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan “ obyektif” hanya berhubungan dengan gejala-gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan “subyektif “ berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikiran dan motif-motifnya.

Memahami reaitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan itu berarti menjelaskan mengapa manusia menentukan pilihan. Metode yang dikembangkan oleh Weber adalah Verstehen, karena menurutnya sosiologi juga adalah manusia yang mengapresiasi lingkungan sosial dimana mereka berada, memperhatikan tujuan-tujuan warga masyarakat yang bersangkutan dan oleh sebab itu berupaya memahami tindakan mereka, sehingga konsep inilah yang dapat membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu sosial.

Verstehen adalah suatu metode pendekatan yag berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa social dan histori. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi social didukung oleh jaringan makna yang di buwat oleh actor yang terlibat di dalamnya. Yang menjadi inti dari sosiologi bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai yang obyektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yangnyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan subyektif itu yang di sebut dengan Verstehende sociologie.


Minggu, 10 Oktober 2010

FENOMENOLOGI

FENOMENOLOGI

Karya: Suwardi Endraswara

Metodologi Riset Budaya-UGM Press

1. Perspektif Fenomenologi

Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenome­nologi boleh dikatakan menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori. Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu.

Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah:

(a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values free.

Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya pun pandangan subjektif informan sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan.

Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penje­lasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edidetik dalam linguistik, (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberada­an, penggambaran gejala (refleksi), (c) fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.

Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesa­daran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.

Dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan fenomeno­logi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pendefinisian konsep kebudayaan. Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998:12-13) menyatakan bahwa obyek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup fenomena yang tidak lain terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian dalam suatu kontsruksi ganda, melihat obyeknya dalam suatu konteks natural, dan bukan parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logik daripada sekedar linier kausal.

Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah ke arah membangun ilmu ideografik budaya itu sendiri.

Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian.

Keter­libatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.

Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti menge­tahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti. Maka dari itu, inkuiri dimulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan adalah aspek subyek dari perilaku orang.

Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari­hari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa penger­tian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.

Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyek­tif dari perilaku budaya. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam hidup sehari-hari. Subyek penelitian dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan pengalamannya melalui interaksi. Peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara mentah. Peneliti cukup arif dengan cara memberikan “tekanan” pada subyek untuk memaknai tindak buda­yanya, tanpa mengabaikan realitas.

Hal tersebut dapat dipahami, karena menurut Phillipson (Walsh,1972:121) istilah fenomena itu berkaitan dengan suatu persepsi yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika pemerhati kebudayaan dan pelaku budaya juga memiliki kesadaran tertentu terhadap yang mereka alami. Pengalaman yang dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di antaranya akan terkait dengan ihwal seluk beluk kebudayaan itu sendiri.

Akibat dari tumbuh kembangnya kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin jika para ahli peneliti budaya fenomenologi mulai dihadapkan pada sejumlah permasalahan kebudayaan. Pada dasarnya, ada tiga permasalahan pokok ketika orang akan melukiskan kebudaya­an yaitu: (1) mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli peneliti budaya, (2) masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan atau seberapa jauh data tersebut benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, dan (3) menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara para ahli masih sering berbeda kriterianya.

Berdasarkan ketiga hal itu, dalam studi fenomenologi terutama sebagai upaya memahami sugesti Malinovski tentang “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world”, Ahimsa-Putra (1985:106-109) menawarkan pendekatan etno­sains sebagai salah satu alternatif.

Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model linguistik yang dikenal dengan pelukisan kebudayaan secara etik dan emik, pemak­naan kebudayaan menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini ini pendefi­nisian kebudayaan merupakan akumulasi dari sistem pengetahuan atau sistem ide, dalam istilah “makna” yang diberikan oleh pendukung kebudayaan pun turut diperhitungkan.

Implikasi dari pendekatan tersebut, penelitian budaya secara fenomenologi dapat digolongkan menjadi tiga yakni: Pertama budaya dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan meru­pakan “forms of things that people have mind”, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi.

Kedua, mereka yang mengarahkan perhatiannya pada bidang rule atau aturan-aturan. Mereka berpijak pada definisi pertama yaitu kebudayaan sebagai hal yang harus diketahui seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara yang dapat diterima oleh warga masyarakat itu berada. Persoalan ketegorisasi masih diperhatikan, khususnya kategorisasi sosial yaitu untuk mengkategorisasikan interaksi sosial.

Tujuan utamanya adalah menca­ri prinsip klasifikasi, seperti halnya klasifikasi dalam undha usuk bahasa Jawa, yaitu kowe, sapeyan, panjenengan.

Ketiga, ahli peneliti budaya masih menggunakan definisi yang kedua, yaitu kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”, yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang ditemui. Dalam hal ini, para ahli peneliti budaya beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain. Untuk menjelaskan tingkah laku manusia makna tersebut harus diungkapkan. Tanpa memperhitungkankan makna ini maka peneliti tidak akan mampu mengungkap hakikat manusia yang sebenarnya. Penekanan si peneliti kemudian mencari tema budaya.

Dari kaca pandang fenomenologis yang dipengaruhi oleh pendefinisian kebudayaan itu, pada gilirannya kebudayaan menjadi lebih kompleks. Kebudayaan menjadi sangat `tergantung’ siapa yang memandang. Jika warga setempat paham terhadap yang mereka lakukan, tentu pendefinisian akan berlainan dengan warga yang samar-samar terhadap budayanya. Kedua pandangan yang berbeda ini pun dalam perspektif fenomenologi harus tetap dihargai. Oleh karena perbedaan pendapat adalah khasanah fenomena budaya itu sendiri.

2. Sebagai Tonggak Arah Baru

Kehadiran Jackson (1996) dalam fenomenologi telah mengha­silkan arahan-arahan baru dalam penelitian budaya secara etnografi. Arahan-arahan tersebut oleh Jackson ditunjukkan secara samar, berupa kritik dari sisi peneliti budaya terhadap pendekatan fenome­nologi. la dengan tajam mengritik pandangan empirisme radikal William James, naturalis John Dewey, dan fenomenolog Marleau­Pcenty. Dari ulasannya, akan ditemukan beberapa arahan baru bidang kajian peneliti budaya fenomenologi dan penulisan etnografinya.

Dalam pengkajian dapat dikemukakan arahan baru fenomeno­logi bagi penelitian budaya sebagai berikut: Pertama, adanya kajian terhadap penyakit. Kajian ini lebih menekankan fenomena yang ditunjukkan oleh pasien daripada yang dikonsepsikan oleh ilmu kesehatan. Hal ini berarti bahwa kajian yang dilakukan telah ke arah fenomenologi karena telah mempertimbangkan perilaku dan makna yang ditunjukkan pasien sebagai subjek penelitian.

Dalam kaitan ini, Arthur Kleinman menggunakan istilah “dunia moral lokal” untuk menunjukkan latar belakang ekonomi, sosial, dan politik dalam kait­annya dengan penyakit pasien. Latar belakang ini selanjutnya dihu­bungkan dengan pengalaman pasien sehingga akan terpahami realita moral khusus yang ada di dalamnya. Pengkajian lebih jauh lagi juga dikaitkan dengan latar belakang budaya pasien. Pandangan semacam inilah yang `mungkin’ dikenal dengan peneliti budaya kesehatan.

Kedua, adanya kajian peneliti budaya fenomenologi yang tetap memperhatikan “dunia moral lokal” terhadap masalah “ekologi”. Seperti halnya ditunjukkan oleh Sartre, seorang eksistensialis yang mulai menekankan pengkajian terhadap masalah situasi dan lingkung­an. Situasi dan lingkungan adalah bagian dari hidup manusia yang akan membentuk dan dibentuk oleh budaya setempat dan atau oleh budaya lain. Pandangan terhadap manusia yang mulai sadar terhadap situasi dan lingkungan ini, pada gilirannya menjadi perhatian ekologi budaya yang pernah dicetuskan oleh Julian Steward (Bennett, 1971:24).

Hal serupa sebagaimana pernah dilakukan penelitian oleh Rene Davisch terhadap pelaku pemujaan suku Yaka di Zaire. la berhasil mengungkap bagaimana kiasan merupakan jaringan hubung­an dunia kehidupan. Bagi orang Yaka, lingkaran kehidupan menurut kiasannya dipadukan dengan irama musim dan matahari. Pengkajian semacam ini, dapat mengaitkan hubungan ekologis dengan faktor kultural setempat. Peneliti tentunya akan mengaitkan pandangan masyarakat lokal sebagai akumulasi interaksi di antara mereka.

Permasalahan semacam ini, diakui atau tidak lalu menarik perhatian para ahli peneliti budaya yang menekankan pada budaya ekologi. Misalkan, manusia (peneliti) mulai sadar mengapa masyarakat tertentu ada yang memanfaatkan limbah menjadi hal yang istimewa.

Ketiga, arahan baru terhadap pengkajian peneliti budaya fisik. Sebagaimana ditunjukkan oleh Merleau-Ponty bahwa subyektivitas adalah merupakan kehidupan fisik di dunia, bahkan sikap simpati dan empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula: Karena itu pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan kehidupan fisik ini karena fisik merupakan aspek primordial dari subyektivitas manusia sebagai makhluk sosial.

Keempat, arahan baru terhadap penelitian historiografi, yaitu memandang fenomena dalam kaitannya kehidupan dan sejarah. Hal ini seperti dicontohkan Jackson, yaitu penelitian terhadap sejarah petani di India.

Dalam bidang penulisan etnografi, dapat diketengahkan arahan baru fenomenologis sebagai berikut: Pertama, arahan-arahan baru dalam penulisan etnografi. Seperti halnya yang diungkapkan Abu Lughod, etnografer dapat menyusun kesadaran `subyektivitas’ yang selanjutnya diarahkan pada penulisan biografi individu. Etnografi individu ini digambarkan melalui ceritera seorang individu tentang keunikan kehidupannya.

Kedua, arahan baru dalam penulisan etnografi secara `naratif. Sebagaimana ditunjukkan Jurgen Hubermas bahwa dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia wacana, permainan bahasa, dan aktivitas komunikasi. Kenyataan ini sarat dengan penulisan ceritera naratif yang disertai dialog-dialog hidup. Kemungkinan besar etnografi semacam ini akan lahir seperti halnya novel.

Dari arah-arahan baru fenomenologi tersebut, penelitian budaya semakin menunjukkan kecerahan. Penelitian budaya dapat memanfa­atkan- pendekatan fenomenologis, terutama untuk model penelitian etnografi. Dari pendekatan tersebut peneliti budaya akan mampu menampilkan realitas dan keaslian budaya yang diteliti. Campur tangan peneliti terhadap konsep-konsep budaya akan relatif kecil, sehingga ilmu budaya pada gilirannya akan semakin berkembang. Dalam penjelasan Phillipson (Walsh, 1972:135-137) tampak bahwa ada dua paham metodologi fenomenologi, pertama fenome­nologi yang berusaha untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun. Kedua, fenomenologi yang berusaha memahami fenomena sebagai obyek kesadaran.

Ketika fenomenologi mulai menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun, ini berarti masih fenomenologi murni. Secara alamiah peneliti budaya akan menanyakan persepsi subyek budaya terhadap apa yang dialaminya. Dari interaksi subyek budaya itu, baik kesadaran subyek sebagai kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu merupakan tonggak terjadinya penaf­siran.

Dari paham kedua tersebut tampak bahwa dalam fenomenologi pun telah terjadi penafsiran terhadap fenomena: Fenomena budaya tidak lagi dijelaskan sebagaimana adanya, melainkan telah melalui penafsiran. Baik penafsiran yang dilakukan oleh partisipan maupun peneliti ketika memberikan umpan balik, tetap telah terjadi sebuah pemahaman.

Dalam kaitan ini, kesadaran partisipan maupun peneliti telah bermain di dalamnya, sehingga memungkinkan terjadinya pema­haman yang lebih baik. Terlebih lagi Goodenough (Geertz (1980:13) menyatakan bahwa kebudayaan (ditempatkan) dalam pikiran-pikiran dan hati manusia. Pemikiran dan hati ini hanya akan dapat nampak dalam suatu tindakan. Tindakan inilah yang dapat dilihat sebagai fenomena yang jelas. Pada saat peneliti dan partisipan berhadapan dengan tindakan mau tidak. mau harus memahaminya. Inilah yang kelak akan berkembang ke arah tumbuhnya tafsir kebudayaan.

ingat saudaraku!!!!

Barang siapa yang memelihara ketaatan

Kepada ALLAH di masa muda dan masa kuatnya,

maka ALLAH akan memelihara kekuatannya

disaat tua dan saat kekuatannya melemah.

Ia akan tetap di beri kekuatan, pendengaran,

penglihatan, kemampuan berpikir dan kekuatan akal.

(ibnu Rajab Al-Hambali)


idza shadaqa al 'azamu wadla'a al sabil

Hanya orang yang mau berfikirlah yang meghargai kita, menghargai arti penting dawah. Aku ingat dalam catatan harian Soe Hok Gie ia pernah menuliskan

(Don’t think you can frighten me by telling me that I am alone. God is alone……….
the loneliness of God is his strength…)


Icetea Ghizha
Icetea Ghizha
Create Your Badge

BELAHAN JIWAKU

BELAHAN JIWAKU
saudara seperjuangan di SKI FISIP UNAIR tercinta