Minggu, 10 Oktober 2010

FENOMENOLOGI

FENOMENOLOGI

Karya: Suwardi Endraswara

Metodologi Riset Budaya-UGM Press

1. Perspektif Fenomenologi

Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenome­nologi boleh dikatakan menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori. Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu.

Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah:

(a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values free.

Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya pun pandangan subjektif informan sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan.

Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penje­lasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edidetik dalam linguistik, (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberada­an, penggambaran gejala (refleksi), (c) fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.

Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesa­daran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.

Dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan fenomeno­logi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pendefinisian konsep kebudayaan. Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998:12-13) menyatakan bahwa obyek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup fenomena yang tidak lain terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian dalam suatu kontsruksi ganda, melihat obyeknya dalam suatu konteks natural, dan bukan parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logik daripada sekedar linier kausal.

Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah ke arah membangun ilmu ideografik budaya itu sendiri.

Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian.

Keter­libatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.

Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti menge­tahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti. Maka dari itu, inkuiri dimulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan adalah aspek subyek dari perilaku orang.

Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari­hari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa penger­tian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.

Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyek­tif dari perilaku budaya. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam hidup sehari-hari. Subyek penelitian dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan pengalamannya melalui interaksi. Peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara mentah. Peneliti cukup arif dengan cara memberikan “tekanan” pada subyek untuk memaknai tindak buda­yanya, tanpa mengabaikan realitas.

Hal tersebut dapat dipahami, karena menurut Phillipson (Walsh,1972:121) istilah fenomena itu berkaitan dengan suatu persepsi yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika pemerhati kebudayaan dan pelaku budaya juga memiliki kesadaran tertentu terhadap yang mereka alami. Pengalaman yang dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di antaranya akan terkait dengan ihwal seluk beluk kebudayaan itu sendiri.

Akibat dari tumbuh kembangnya kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin jika para ahli peneliti budaya fenomenologi mulai dihadapkan pada sejumlah permasalahan kebudayaan. Pada dasarnya, ada tiga permasalahan pokok ketika orang akan melukiskan kebudaya­an yaitu: (1) mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli peneliti budaya, (2) masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan atau seberapa jauh data tersebut benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, dan (3) menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara para ahli masih sering berbeda kriterianya.

Berdasarkan ketiga hal itu, dalam studi fenomenologi terutama sebagai upaya memahami sugesti Malinovski tentang “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world”, Ahimsa-Putra (1985:106-109) menawarkan pendekatan etno­sains sebagai salah satu alternatif.

Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model linguistik yang dikenal dengan pelukisan kebudayaan secara etik dan emik, pemak­naan kebudayaan menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini ini pendefi­nisian kebudayaan merupakan akumulasi dari sistem pengetahuan atau sistem ide, dalam istilah “makna” yang diberikan oleh pendukung kebudayaan pun turut diperhitungkan.

Implikasi dari pendekatan tersebut, penelitian budaya secara fenomenologi dapat digolongkan menjadi tiga yakni: Pertama budaya dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan meru­pakan “forms of things that people have mind”, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi.

Kedua, mereka yang mengarahkan perhatiannya pada bidang rule atau aturan-aturan. Mereka berpijak pada definisi pertama yaitu kebudayaan sebagai hal yang harus diketahui seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara yang dapat diterima oleh warga masyarakat itu berada. Persoalan ketegorisasi masih diperhatikan, khususnya kategorisasi sosial yaitu untuk mengkategorisasikan interaksi sosial.

Tujuan utamanya adalah menca­ri prinsip klasifikasi, seperti halnya klasifikasi dalam undha usuk bahasa Jawa, yaitu kowe, sapeyan, panjenengan.

Ketiga, ahli peneliti budaya masih menggunakan definisi yang kedua, yaitu kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”, yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang ditemui. Dalam hal ini, para ahli peneliti budaya beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain. Untuk menjelaskan tingkah laku manusia makna tersebut harus diungkapkan. Tanpa memperhitungkankan makna ini maka peneliti tidak akan mampu mengungkap hakikat manusia yang sebenarnya. Penekanan si peneliti kemudian mencari tema budaya.

Dari kaca pandang fenomenologis yang dipengaruhi oleh pendefinisian kebudayaan itu, pada gilirannya kebudayaan menjadi lebih kompleks. Kebudayaan menjadi sangat `tergantung’ siapa yang memandang. Jika warga setempat paham terhadap yang mereka lakukan, tentu pendefinisian akan berlainan dengan warga yang samar-samar terhadap budayanya. Kedua pandangan yang berbeda ini pun dalam perspektif fenomenologi harus tetap dihargai. Oleh karena perbedaan pendapat adalah khasanah fenomena budaya itu sendiri.

2. Sebagai Tonggak Arah Baru

Kehadiran Jackson (1996) dalam fenomenologi telah mengha­silkan arahan-arahan baru dalam penelitian budaya secara etnografi. Arahan-arahan tersebut oleh Jackson ditunjukkan secara samar, berupa kritik dari sisi peneliti budaya terhadap pendekatan fenome­nologi. la dengan tajam mengritik pandangan empirisme radikal William James, naturalis John Dewey, dan fenomenolog Marleau­Pcenty. Dari ulasannya, akan ditemukan beberapa arahan baru bidang kajian peneliti budaya fenomenologi dan penulisan etnografinya.

Dalam pengkajian dapat dikemukakan arahan baru fenomeno­logi bagi penelitian budaya sebagai berikut: Pertama, adanya kajian terhadap penyakit. Kajian ini lebih menekankan fenomena yang ditunjukkan oleh pasien daripada yang dikonsepsikan oleh ilmu kesehatan. Hal ini berarti bahwa kajian yang dilakukan telah ke arah fenomenologi karena telah mempertimbangkan perilaku dan makna yang ditunjukkan pasien sebagai subjek penelitian.

Dalam kaitan ini, Arthur Kleinman menggunakan istilah “dunia moral lokal” untuk menunjukkan latar belakang ekonomi, sosial, dan politik dalam kait­annya dengan penyakit pasien. Latar belakang ini selanjutnya dihu­bungkan dengan pengalaman pasien sehingga akan terpahami realita moral khusus yang ada di dalamnya. Pengkajian lebih jauh lagi juga dikaitkan dengan latar belakang budaya pasien. Pandangan semacam inilah yang `mungkin’ dikenal dengan peneliti budaya kesehatan.

Kedua, adanya kajian peneliti budaya fenomenologi yang tetap memperhatikan “dunia moral lokal” terhadap masalah “ekologi”. Seperti halnya ditunjukkan oleh Sartre, seorang eksistensialis yang mulai menekankan pengkajian terhadap masalah situasi dan lingkung­an. Situasi dan lingkungan adalah bagian dari hidup manusia yang akan membentuk dan dibentuk oleh budaya setempat dan atau oleh budaya lain. Pandangan terhadap manusia yang mulai sadar terhadap situasi dan lingkungan ini, pada gilirannya menjadi perhatian ekologi budaya yang pernah dicetuskan oleh Julian Steward (Bennett, 1971:24).

Hal serupa sebagaimana pernah dilakukan penelitian oleh Rene Davisch terhadap pelaku pemujaan suku Yaka di Zaire. la berhasil mengungkap bagaimana kiasan merupakan jaringan hubung­an dunia kehidupan. Bagi orang Yaka, lingkaran kehidupan menurut kiasannya dipadukan dengan irama musim dan matahari. Pengkajian semacam ini, dapat mengaitkan hubungan ekologis dengan faktor kultural setempat. Peneliti tentunya akan mengaitkan pandangan masyarakat lokal sebagai akumulasi interaksi di antara mereka.

Permasalahan semacam ini, diakui atau tidak lalu menarik perhatian para ahli peneliti budaya yang menekankan pada budaya ekologi. Misalkan, manusia (peneliti) mulai sadar mengapa masyarakat tertentu ada yang memanfaatkan limbah menjadi hal yang istimewa.

Ketiga, arahan baru terhadap pengkajian peneliti budaya fisik. Sebagaimana ditunjukkan oleh Merleau-Ponty bahwa subyektivitas adalah merupakan kehidupan fisik di dunia, bahkan sikap simpati dan empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula: Karena itu pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan kehidupan fisik ini karena fisik merupakan aspek primordial dari subyektivitas manusia sebagai makhluk sosial.

Keempat, arahan baru terhadap penelitian historiografi, yaitu memandang fenomena dalam kaitannya kehidupan dan sejarah. Hal ini seperti dicontohkan Jackson, yaitu penelitian terhadap sejarah petani di India.

Dalam bidang penulisan etnografi, dapat diketengahkan arahan baru fenomenologis sebagai berikut: Pertama, arahan-arahan baru dalam penulisan etnografi. Seperti halnya yang diungkapkan Abu Lughod, etnografer dapat menyusun kesadaran `subyektivitas’ yang selanjutnya diarahkan pada penulisan biografi individu. Etnografi individu ini digambarkan melalui ceritera seorang individu tentang keunikan kehidupannya.

Kedua, arahan baru dalam penulisan etnografi secara `naratif. Sebagaimana ditunjukkan Jurgen Hubermas bahwa dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia wacana, permainan bahasa, dan aktivitas komunikasi. Kenyataan ini sarat dengan penulisan ceritera naratif yang disertai dialog-dialog hidup. Kemungkinan besar etnografi semacam ini akan lahir seperti halnya novel.

Dari arah-arahan baru fenomenologi tersebut, penelitian budaya semakin menunjukkan kecerahan. Penelitian budaya dapat memanfa­atkan- pendekatan fenomenologis, terutama untuk model penelitian etnografi. Dari pendekatan tersebut peneliti budaya akan mampu menampilkan realitas dan keaslian budaya yang diteliti. Campur tangan peneliti terhadap konsep-konsep budaya akan relatif kecil, sehingga ilmu budaya pada gilirannya akan semakin berkembang. Dalam penjelasan Phillipson (Walsh, 1972:135-137) tampak bahwa ada dua paham metodologi fenomenologi, pertama fenome­nologi yang berusaha untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun. Kedua, fenomenologi yang berusaha memahami fenomena sebagai obyek kesadaran.

Ketika fenomenologi mulai menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun, ini berarti masih fenomenologi murni. Secara alamiah peneliti budaya akan menanyakan persepsi subyek budaya terhadap apa yang dialaminya. Dari interaksi subyek budaya itu, baik kesadaran subyek sebagai kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu merupakan tonggak terjadinya penaf­siran.

Dari paham kedua tersebut tampak bahwa dalam fenomenologi pun telah terjadi penafsiran terhadap fenomena: Fenomena budaya tidak lagi dijelaskan sebagaimana adanya, melainkan telah melalui penafsiran. Baik penafsiran yang dilakukan oleh partisipan maupun peneliti ketika memberikan umpan balik, tetap telah terjadi sebuah pemahaman.

Dalam kaitan ini, kesadaran partisipan maupun peneliti telah bermain di dalamnya, sehingga memungkinkan terjadinya pema­haman yang lebih baik. Terlebih lagi Goodenough (Geertz (1980:13) menyatakan bahwa kebudayaan (ditempatkan) dalam pikiran-pikiran dan hati manusia. Pemikiran dan hati ini hanya akan dapat nampak dalam suatu tindakan. Tindakan inilah yang dapat dilihat sebagai fenomena yang jelas. Pada saat peneliti dan partisipan berhadapan dengan tindakan mau tidak. mau harus memahaminya. Inilah yang kelak akan berkembang ke arah tumbuhnya tafsir kebudayaan.

Paradigma Definisi Sosial


Weber sebagai pengemuka exemplar dari paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Kedua hal itulah yang menjadi pokok persoalan sosiologi. Sehingga inti tesis yang dibuatnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu. Tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sedangkan tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan termasuk dalam tindakan sosial.

Secara definitif Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Definisi ini terkandung dua konsep dasar di dalamnya. Pertama konsep tindakan sosial. Kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Kensep kedua menyangkut metode untuk menerangkan konsep pertama.

Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa bisa juga berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu.

Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi. Pertama, tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata. Kedua, tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. Ketiga, tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. Keempat, tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. Kelima, tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

Tindakan sosial memiliki ciri-ciri lain. Tindakan sosial dapat dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu atau waktu yang akan datang. Dilihat dari segi sasarannya maka “pihak sana” yang menjadi sasaran tindakan sosial si aktor dapat berupa seorang individu atau sekumpulan orang. Dengan membatasi suatu perbuatan sebagai sustu tindakan sosial, maka perbuatan-perbuatan lainnya tidak termasuk ke dalam obyek penyelidikan sosiologi. Tindakan nyata tidak termasuk sebagai tindakan sosial kalau secara khusus diarahkan kepada obyek mati. Sebabnya ialah karena reaksi yang timbul itu tanpa sesuatu arti yang diarahkan kepada orang lain.

Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Untuk mempelajarinya tidak mudah bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja dia tidak akan yakin bahwa perbuatan itu memepunyai arti subyektif dan diarahkan kepada orang lain. Peneliti sosiologi harus mencoba menginterpretasikan tindakan si aktor. Sosiolog harus memahami motif dari tindakan si aktor. Meurut Weber untuk memahami tindakan si aktor dapat menggunakan dua cara, yaitu dengan melalui kesungguhan dan dengan mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor. Peneliti menempatkan dirinya dalam posisi si aktor serta mencoba memahami barang sesuatu seperti yang dipahami oleh aktor. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah difahami. Terdiri dari Zwerk rational, Werkrational artion, Affectual action, dan Traditional action.

Zwerk rational yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam Zwerk rational tidak absolut. Akan mudah memahami tindakan ini jika aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional. Werktrational artion, dalam tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara yang dipilhnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat jika menggunakan cara yang lain. Dalam tindakan ini antara tujuan dengan cara-cara mencapainya cenderung sulit untuk dibedakan. Tetapi tindakan ini rasional, karena pilihan cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan Werktrational artion masih rasional meski tidal serasional Zwerk rational. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk difahami.

Affectual action merupakan tindakan yang diuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepira-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami dan kurang auat tidak rasional. Traditional actoin merupakan tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja. Kedua tipe tindakan ini merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Sehingga tidak termasuk ke dalam tindakan yang penuh arti dan menjadi sasaran penelitian sosiologi.

Konsep kedua dari Weber adalah konsep tentang antar hubungan sosial (social relationship). Didefinisikan sebagai tindakan yang beberapa orang aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain.

Teori Fenomenologi

Teori-teori yang bernaung di bawah paradigma definisi sosial melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang berada d luar individu. Kenyataan sosial tersebut merupakan suatu realitas yang berdiri sendiri di luar sana dan terkadang bisa mempengaruhi individu. Ia bahkan bisa memaksa individu unutk mengikuti kemauannya. Pandangan tentang kenyataan sosial yang demikian berbeda sekali dari pandangan interaksionisme simbolik. Bagi pendukung teori interaksioninsme simbolik, kenyataan sosial tidak mempunyai arti di dalam dirinya sendiri kalau tidak diberi arti oleh individu. Dengan kata lain, realitas sosial sangat bergantung kepada makna yang diberikan individu. Misalnya Stadion Madawat di Maumere bisa mempunyai arti yang berbeda-beda untuk para pemain bola, penjual minuman ringan, pencopet, penonton,dan lain-lain.

Sebagai teori yang bernaung di bawah paradigma definisi sosial, fenomenologi maju selangkah lagi dengan mengatakan bahwa kenyataan sosial itu tidak bergantung kepada makna yang diberikan oleh individu melainkan pada kesadaran subyektif si aktor. Tujuan dari fenomenologi adalah menganalisis dan melukiskan kehidupan sehari-hari atau dunia kehidupan sebagaimana disadari oleh faktor. Dalam melukiskan studi ini seorang individu harus mengurungkan (bracketing off) atau meninggalkan semua asumsi atau pengetahuan yang sudah tentang struktur sosial dan mengamati sesuatu secara langsung. Pendukung teori ini berpendapat bahwa sekalipun orang melihat kehidupan sehari-hari seperti terjadi begitu saja,namun analisis fenomenologi bisa menunjukkan bagaimana dunia sehari-hari itu tercipta.

Fenomenologi masuk ke dalam dunia sosiologi melalui karyaAlfred Schutz. Alfred Schutz sendiri dipengaruhi oleh Filsuf Jerman Edmund Husserl. Tetapi sebuah studi sosiologis yang terkenal dengan menggunakanprinsip-prinsip fenomenologi yang terkenal dilakukanoleh P. Berger dan T. Luckman dalam buku mereka yang berjudul The Social Construction of Reallity (1967). Studi yang kedua dilakukan oleh George Psathas dan Frances Waksler di dalam karya mereka yang berjudul Essential Features of Face to Face Interaction (1973). Sebelum menguraikan secara terperinci karya mereka, kita terlebih dahulu melihat pokok-pokok pikiran Edmund Husserl dan Alfred Schutz di dalam fenomenologi.

1. Fenomenologi Awal: Pemikiran Edmund Husserl

1.1 Problem Filosofi Mendasar.

Menurut Edmund Husserl, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang mengkonfrontir semua usaha pencaharian filosofi adalah: Apa artinya riil? Apa yang sesungguhnyan ada di dunia ini? Bagaimana mungkin kita bisa mengetahui apa yang ada? Sebagai seorang filsuf, pertanyaan-pertanyaan seperti ini adalah penting untuk Edmund Husserl dan menarik perhatiannya. Menurut Husserl, manusia mengenal dunia hanya melalui pengalaman. Segala sesuatu tentang dunia di luar sana di terimanya melalu indera-indera dan dapat diketahui hanya melalui kesadaran. Keberadaan orang-orang lain, nilai-nilai, atau norma-norma, dan obyek-obyek fisis lainnya selalu diantarai oleh pengalaman yang seolah-olah mencatat semuanya pada kesadaran manusia. Tetapi oleh karena kesadaran manusia bersifat terbatas dan unik, bagaimana mungkin seseorang mengkleim bahwa apa yang disadarinya itu adalah suatu realitas yang diterima umum atau suatu fakta sosial.

Berhubung kesadaran itu begitu penting dan menjadi sumber pengetahuan, maka pencaharian filosotis harus berusaha untuk mengerti bagaimana kesadaran itu bekerja dan bagaimana ia mempengaruhi manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Proses kerja dari kesadaran seperti itulah yang menjadi perhatian utama dari sosiologi fenomenologi.

1.2 RUANG LINGKUP KESADARAN

Husserl menggunakan istilah “dunia kehidupan” dalam pengertian dunia kehidupan sehari-hari. Dengan konsep ini ia menekankan bahwa manusia bekerja di dalam dunia yang diterima begitu saja dari hari ke hari yang menyerap masuk ke dalam kegiatan mental mereka. Dunia kehidupan sehari-hari itu terdiri dari obyek-obyek, orang-orang, tempat-tempat, ide-ide, dan hal-hal lainnya yang dilihat, diterima oleh manusia sebagai sesuatu yang berada di luar sana (fakta sosial) dan menentukan parameter atau ukuran untuk segala sesuatu yang mereka lakukan. Apa yang mereka lakukan sebagai perwujudan kesadaran mereka dinilai oleh sesuatu yang berada di luar diri mereka (Fakta sosial) seperti masyarakat dengan hukum-hukum, norma-norma, atau nilai-nilai, yang dipegangnya.

Dunia kehidupan sehari-hari atau dunia dengan sikap alamiah merupakan satu realitas atau fakta bagi manusia yang menjadi ciri utama konsep Husserl tentang dunia dengan sikap alamiah. Konsep tersebut menjadi dasar dari fenomenologi modern dan harus mendapat penekanan adalah :

· Dunia kehidupan (sehari-hari )diterima begitu saja (take for granted). Dunia keseharian itu jarang menjadi topik pemikiran reflektif. Kendati demikian, dunia yang diterima begitu saja tanpa refleksi itu mempengaruhi cara-cara manusia bertindak dan berpikir. Dengan kata lain, kehidupan sehari-hari sebagai suatu fakta sosial sangat kuat mempengaruhi individu di dalam bertindak dan berpikir.

· Manusia hidup dengan asumsi bahwa mereka mengalami dunia secara sama. Tetapi oleh karena setiap orang mengalami hanya kesadarannya sendiri yang unik dan khas, maka daia tidak bisa memastikan bahwa asumsi yang lahir dari kesadarannya adalah benar. Dia tidak bisa memastikan bahwa apa yang disadarinya juga disadari oleh orang-orang lain. Tetapi di dalam kenyataanya orang berbuat seolah-olah mereka menyadari hal yang sama dengan membuat asumsi bahwa mereka mengalami dunia sosial yang sama.

Oleh sebab itu kegiatan manusia dilakukan dalam dunia kehidupan (sehari hari) yang diterima begitu saja dan kemudian menganggap bahwa mereka mengalami hal yang sama tidak bisa diterima. Apabila dunia kehidupan (sehari-hari) seseorang membentuk kesadarannya dan mempengaruhi tingkah lakunya, bagaimana pengetahuan obyektif tentang tingkah laku dan organisasi manusia menjadi mungkin?. Ini menjadi pertanyaan yang menyebabkan Husserl mengkritik ilmu alam dan ilmu positif.

1.3 Kritik Terhadap Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan berasumsi bahwa dunia fakta berada di luar sana dan bersifat independen dan eksternal terhadap kesadaran manusia. Tetapi Husserl menentang pandanagn ini dengan menyatakan banwa jika seseorang mengetahui sesuatu hanya melalui kesadaran, dan kesadaran itu dibentuk oleh dunia kehidupan (sehari – hari) yang diterima begitu saja. Bagaimana mungkin ukuran obyektif dari dunai eksternal itu bisa diperoleh? Bagaimana ilmu pengetahuan dapat mengukur secara obyektif sebuah dunia eksternal sementara satu – satunya dunia yang dialami oleh seseorang individu adalah dunia kehidupan (sehari – hari dari kesadarannya sendiri).

1.4 Jalan Keluar Yang Dianjurkan Husserl

Jalan keluar yang dianjurkan oleh Husserl untuk memecahkan masalah ini bersifat filosofis. Dia membela apa yang diistilahkannya mengambil esensi dari kesadaran guna memahami peristiwa – peristiwa sosial, proses dasar melalui mana peristiwa – peristiwa itu diterima yakni kesadaran harus difahami. Isi substantif dari kesadaran atau dari dunia kehidupan (sehari –hari) bukanlah hal yang paling penting melainkan proses abstrak dari kesadaran itulah yang harus menjadi pencarian filosofis.

Husserl membela apa yang diistilahkannya dengan “abstraksi radikal” dari pengalaman interpersonal. Orang harus berusaha membatalkan untuk sementara (suspend) atau mengurangkan (bracketing) sikap alamiah (sikap biasa – biasa) mereka dan berusaha mengerti proses – proses fundamental dari kesadaran itu sendiri. Husserl bermaksud menciptakan sebuah teori abstrak tentang kesadaran yang mengurungkan (bracketed out) atau menunda (suspended) segala macam asumsi tentang dunia sosial yang bersifat eksternal di luar sana.

Sumbangan Husserl Untuk Fenomenologi doktrin filosofi Huseseri kelihatan gagal. Dia tidak berhasil mengembangkan teori abstrak tentang kesadaran manusia yang secara radikal ditarik dari dunia kehidupan (sehari-hari) tetapi ide-idenya menjadi dasar dari fenomenologi dan pengembangannya dalam etnometodologi. Pokok-pokok pikirannya yang kini menjadi dasar dari fenomenologi moderen dapat diringkasaskan sebagai berikut :

a. penekanan terhadap proses-proses abstrak dari kesadaran merangsang parapemikir yang lebih kemudian untuk mencari tahu bagaimana proses-proses seorang individu bisa membentuk hakekat dunia sosial. Dunia tidak dilihat sebagai sesuatu yang dihadirkan kepada kesadaran, tetapi diciptakan dari proses subyektif pikiran manusia.

b. keprihatinnya tehadap penciptaan dunia kehidupan (sehari-hari) menghantar para ahli untuk mempertannyakan bagaimana manusia menciptakan rasa realitas dan bagaimana rasa realita ini dipertyentangkan dengan ‘sesuatu yang bener-benar rill’

c. kritik terhadap ilmu sosial telah membantu orang-orang di dalam fenomenologi, berpendapat bahwa ilmu sosial yang sungguh-sungguh adalah tidak mungkin ataupun sekurtang-kurangnya

d. kegagalan Husserl untuk mengembangkan teori abstrak tentang kesadaran meyakinkan para pendukung fenomenologi bahwa memahami kesadaran manusia dan kenyataan sosial hanya bisa terjadi dengan meneliti individu di dalam interaksi aktual dan bukannya melalui abstrak radikal.

2. Fenomenologi Alfred Schutz

Persoalan pokok yang hendak diterangkan oleh teori ini justru menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimanan kehidupan bermasyarakat itu dapat terbentuk. Alfred Schutz memliki teori yang bertolak belakang dari pandangan Weber. Alfred berpendapat bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.

Pemahaman secara subyektif terhadap sesuatu tindakan sangat menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial. Baik bagi aktor yang memberikan arti terhadap tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain yang akan menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan beraksi atau bertindak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh aktor.

Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada satu bentuk dari subyektivitas yang disebutnya, antar subyektivitas. Konsep ini menunjuk kepada pemisahan keadaan subyektif atau secara sederhana menunjuk kepada dimensi dari kesadaran umum ke kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi. Intersubyektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan tentang peranan masing-masing yang diperoleh melalui pengalaman yang bersifat pribadi.

Konsep intersubyektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling menginterpretasikan tindakannya masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya kerja sama di hampir semua organisasi sosial.

Schutz memusatkan perhatiannya kepada struktur kesadaran yang diperlukan untuk terjadinya saling bertindak atau interaksi dan saling memahami antar sesama manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa interaksi sosial terjadi dan berlangsung melalui penafsiran dan pemahaman tindakan masing-masing baik antar individu maupun antar kelompok.

2.1 Empat unsur pokok dari teori ini

Pertama, perhatian terhadap aktor. Persoalan dasar ini menyangkut metodologi. Bagaimana caranya untuk mendapatkan data tentang tindakan sosial itu subyektif mungkin. Penggunaan metode ini dimaksudkan pula untuk mengurangi pengaruh subyektivitas yang menjadi sumber penyimpangan, bias dan ketidaktepatan informasi. Menurut pandangan ahli ilmu alam hal seperti itu tidak mungkin dilakukan terhadap obyek studi sosiologi.

Pendekatan obyektif dalam sosiologi sebenarnya sudah dimulai oleh Durkheim, dengan menyatakan fakta sosial sebagai barang sesuatu yang nyata. Pendekatan ini mendesak para sosiolog untuk mengumpulkan data secara obyektif tentang fakta sosial dengan mengurangi peranan kesan-kesan dan ide si peneliti sendiri tentang kenyataan sosial. Namun pendekatan obyektif yang digunakan di ilmu alam justru tidak akan mampu mengungkapkan kenyataan sosial secara obyektif. Alasannya manusia yang menjadi obyek penelitian bukan hanya sekedar obyek dalam dunia nyata tetapi sekaligus merupakan pencipta dari dunianya sendiri.

Sehingga dapat dikatakan naif kalau ada yang beranggapan bahwa seseorang akan dapat memahami keseluruhan tingkah laku manusia, hanya dengan mengarahkan perhatian kepada tingkah laku yang nampak atau yang muncul secara konkrit saja. Tantangan bagi ilmuwan sosial adalah untuk memahami makna tindakan aktor yang ditujukannya juga kepada dirinya. Bila pengamat menerapkan ukuran-ukurannya sendiri atau teori-teori tentang makna tindakan, dia tidak akan dapat menemukan makna yang sama di antara aktor itu sendiri. Dia tidak akan pernah menemukan bagaimanan realita sosial itu diciptakan dan bagaimanan tindakan berikutnya akan dilakukan dalam kontek pengertian mereka.

Kedua, memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau yang pokok dan kepada sikap yang wajar atau alamiah (natural attitude). Alasannya adalah bahwa tidak keseluruhan gejala kehidupan sosial mampu diamati. Karena itu perhatian harus dipusatkan kepada gejala yang penting dari tindakan manusia sehari-hari dan terhadap sikap yang wajar. Proses terbentuk fakta sosial menjadi pusat perhatian dan jelas bukan bermaksud mempelajari fakta sosial secara langsung. Bedanya terletak pada bahwa sementara paradigma fakta sosial mempelajari fakta sosial sebagai pemaksa terhadap tindakan individu, maka fenomenologi mempelajari bagaimanan individu ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan fakta sosial yang memaksa mereka itu.

Ketiga, memusatkan perhatian kepada masalah mikro. Mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu.

Keempat, memperhatikan pertumbuhan, perubahan, dan proses tindakan. Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya. Manusia bukanlah wadah yang pasif sebagai tempat menyimpan dan mengawetkan norma-norma.

Sumber :

Raho,Bernard SVD. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007

Ritzer,George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV. Rajawali, 1980

ingat saudaraku!!!!

Barang siapa yang memelihara ketaatan

Kepada ALLAH di masa muda dan masa kuatnya,

maka ALLAH akan memelihara kekuatannya

disaat tua dan saat kekuatannya melemah.

Ia akan tetap di beri kekuatan, pendengaran,

penglihatan, kemampuan berpikir dan kekuatan akal.

(ibnu Rajab Al-Hambali)


idza shadaqa al 'azamu wadla'a al sabil

Hanya orang yang mau berfikirlah yang meghargai kita, menghargai arti penting dawah. Aku ingat dalam catatan harian Soe Hok Gie ia pernah menuliskan

(Don’t think you can frighten me by telling me that I am alone. God is alone……….
the loneliness of God is his strength…)


Icetea Ghizha
Icetea Ghizha
Create Your Badge

BELAHAN JIWAKU

BELAHAN JIWAKU
saudara seperjuangan di SKI FISIP UNAIR tercinta